Selasa, 13 September 2016

Upacara 17 agustus di Argopuro Lasem

foto bersama sebelum upacara 17 agustus di puncak Argopuro Lasem Rembang


Kabut tebal menghalangi jarak pandang. Aku menghadap ke bawah, hanya bisa menerawang keindahan gemerlap lampu kota. Di depanku dedaunan melambai di terpa angin malam. Bulan di atas mendadak di telan kabut. Tenda pendaki berderet memanjang dari timur ke barat. Sambil bersandar di tugu puncak gunung Argopuro, Lasem, Rembang aku menghadap ke selatan. Melepas lelah sambil bercengkrama dengan teman-teman. Aku kembali belajar tentang arti hidup.  Malam dan kabut seakan berbisik. bersuara  di telinga kanan menjelaskan apa itu perjuangan. Inilah cerita perjalananku dengan teman-teman mendaki gunung tertinggi di kabupaten Rembang.

Acara muncak dalam rangka memperingati hari ulang tahun NKRI ke tujupuluh satu di Argo Lasem tadi malam berawal dari koordinasi lewat facebook.  Argo sudah biyasa di pilih temen se kampungku sebagai tujuan saat mengadakan acara seperti tahun baru, tujuh belasan, atau sekedar ingin naik gunung. Aku masih ingat dua hari lalu, ketika temanku Memet update status mengajak naik Argo. Aku yang sebelumnya juga punya keinginan mengadakan upaca sederhana di atas Argo menyepakati ajakan Memet.

Tanpa persiapan matang, keinginan upacara di puncak akan gagal total, itulah prasangkaku. Aku tidak bisa menghubungi teman di rembang yang sekiranya bisa di ajak naik gunung. Aku hanya menghubungi Topeng yang sama-sama jadi pengangguran saat ini. Topeng bilang akan berangkat dengan Yudi, teman ngluyur sekampungnya. Karna tidak punya peralatan lengkap, juga mengingat kapasitas Argo hanya bisa di tumpangi sedikit pendaki, maka ku cukupkan berangkat tidak lebih dari sepuluh orang.

Pukul setengah lima sore, aku dan Miftah, panggilanya Mip berangkat dari rumah. Memet bilang kalau akan berangkat dari Lamongan jam tiga sore dan akan langsung ke desa Ngroto, pos pendakian. Yanto masih bimbang antara berangkat atau tidak. Topeng sudah menunggu di masjid agung Pamotan. Setelah bertemu Topeng di Masjid, kita berangkat bareng menuju Desa Ngroto. Di jalan Topeng membeli dua kembang api panjang. Katanya akan di nyalakan saat sampai puncak.

Jam lima lebih kita sampai di Ngroto, memarkirkan motor, langsung tancap gas berjalan naik. Yanto ku telfon, dia jadi ikut naik dengan Ulum tapi menyusul. Aku pesan makanan padanya karna  perut sudah mulai minta nasi. Sebenarnya ada dua pilihan, menunggu azan mahrib lalu sholat berjama’ah di masjid depan tempat parkir atau langsung naik. Karna kita hanya bawa satu senter, takut hari akan terlalu gelap maka  kita putuskan langsung naik. Nanti bisa sholat di atas. 

Perjalanan dari tempat parkir ke atas butuh waktu sekitar dua jam.  Meski ketinggianya Cuma delapan ratus enam MDPL, namun treknya  bagiku lumayan menguras tenaga. Apalagi bagi pemula, perjalanan di Argo pasti cukup melelahkan. Dari bawah aku berharap masih mendapat tempat istirahat, karna sebelumnya  melihat parkiran di depan rumah warga sudah banyak motor. Kalaupun tidak dapat tempat mendirikan tenda yang penting dapat tempat sekiranya cukup untuk membaringkan tubuh.

Pertama kali  kita jalan, area kebun warga  menjadi pemandangan kanan-kiri. Setelah itu baru kita akan memasuki hutan. Untuk jenis pohon yang tumbuh di sekitar gunung  aku kurang tahu. Argo merupakan salah satu hutan lindung yang ada di kabupaten Rembang. Jika kita naik pada siang hari maka pemandangan hutanya terlihat masih alami. Pohonya masih rimbun, pendakianku sebelumnya sempat melihat beberapa satwa liar. Yang paling menarik ketika melihat kera, saat itu aku sedikit takut karna naik hanya berdua. Tapi keranya lari saat tau kalau ku amati.

Di tengah perjalanan. Mip, Topeng dan Yudi mulai tampak lelah. Dia mulai menanyakan butuh berapa lama untuk sampai puncak. aku khawatir kalau bilang masih lama nanti akan menurunkan semangatnya. Aku bohongi mereka dengan mengatakan “santai, iku lho karek sitik. Delok ah,,, nduwur wes ketok.” Awalnya ketiga temanku percaya. Tapi, karna tidak sampai-sampai di atas dia mulai menanyakan lagi dan sesekali mengumpat. “asem eg, di bodoni Zaim. Jarene kurang sitik jebule ijeh adohe ngene” celetuk Mip. Bahkan temenku ketemu di jalan, dia anak Tuban bilang “kapan, yo…yo… tekan duwur iki. Ndak iseh limang jam o…….”
Hampir dua jam kita berjuang naik. Sesampainya di atas, segera mencari tempat agak lapang.  Tenda pendaki terlihat berderet memanjang, berdempetan. Tak ada tempat lagi untuk mendirikan tenda. Aku melihat di sebelah selatan tugu ada tempat agak lapang. Luasnya hanya satu meter setengah memanjang ke barat. Biasa di pakai untuk jalan anak-anak.  Layar biru ku gelar untuk istirahat menunggu Memet dan Yanto.

Pukul delapan malam
Kabut tebal menghalangi jarak pandang. Angin kencang dari timur mengusir keringat, membuat daun melambai.  Aku menghadap ke bawah. Berharap bisa menikmati gemerlap lampu pedesaan.  Bulan yang semula terang mendadak menghilang. Mip, melepas lelah, membuang gundah. Dia tidur pulas. Aku masih menunggu Memet, Yanto, Ulum dan teman lain. Berharap dia segera sampai atas.
Pukul setengah sepuluh
Aku sering menengok ke arah timur. Melihat orang lalu-lalang mencari tempat istirahat. Di sebelah barat ramai sekali. Segerombol anak sedang memainkan gitar dan bernyanyi bersama. Sepertinya asyik sekali, rasanya ingin gabung tapi rasa capek belum hilang. Memet dan satu temanya terlihat memakai kaos, bersepatu, membawa tas pegawai. Saat sampai di depanku aku panggil namanya, dia sepertinya tidak tahu kalau aku yang sedang duduk di samping tugu. Memet membawa kabar bahwa Yanto sudah sampai Pamotan, tapi dia jalan duluan. Kita menikmati rokok bersama. Tak lama kemudian Ulum, Yanto dan dua temanya datang.

Yanto membawa nasi, lele goreng, tempe goreng, tahu dan sambal tomat. Kita makan bersama dengan lahap. Sehabis makan, Yanto tidur nyenyak tanpa ingin menikmati suasana malam di gunung. Dia seperti hanya pindah tidur doang. Sedang yang lain saling bercerita, mengobrol sampai larut malam.  Jam menunjukkan hampir pukul nol-nol. Ada agenda menyalakan kembang api di waktu tersebut. Tapi aku tertidur, sepertinya teman di sampingku juga tidur semua.


Pukul satu dini hari, setelah terbangun dari tidur gara-gara hujan turun. Aku melihat kabut masih tebal. Jarak pandang hanya beberapa meter saja. Saat hujan datang, tikar yang semula kita pakai sebagai alas tidur kita ubah menjadi atap penangkal hujan. Untung, selang sekitar sepuluh menit hujan  reda. Tikar kita pakai menjadi alas untuk tidur lagi. Rencana menyalakan kembang api pukul nol-nol WIB gagal. Karna kita baru bisa bangun jam satu  maka saat hujan reda kita baru menyalakan kembang api.

Walaupun Topeng seorang ekonom yang mempunyai tekat untuk membawa kabupaten Rembang menjadi lebih baik tapi untuk urusan memegang kembang api dia tidak berani. Entah tidak berani sungguhan, atau hanya berpura-pura aku tidak tahu. Dua kembang api yang ku bawa dari bawah dan sempat di bicarakan cewek-cewek saat hampir sampai atas ini akan ku nyalakan sendiri. Ada cewek bilang “wah, ono seng nggowo kembang api. Lak asik iki.” Temanya menyahut. Aku terus berjalan ke atas tidak mendengar pembicaraan selanjutnya.

 Topeng memegang hp, bersiap mengabadikan momen malam berkabut dengan letusan warna-warni kembang api. Aku pegang satu kembang api panjang dengan penuh rasa bangga. Rasanya aku kembali menjadi anak kecil bermain kembang api di malam lebaran. Mip, memegang bagian atas kembang api dan menarik ucengnya agar bisa di nyalakan memakai korek bensol. Mulanya aku agak takut, karna Topeng tidak berani.tapi ada rasa yang hadir “anak kecil aja berani masak aku tidak”.
Kembang api menyala. Langit penuh  kabut di hiasi percikan cahaya warna-warni kembang api. Orang-orang di sekitar keluar tenda untuk menonton. Banyak yang berteriak  menunjukkan rasa gembira. Ada juga yang berteriak lantang “merdeka..” aku fokus memegang kembang api. Temen-temen mencoba mengambil gambar tapi kabut  mencadi penghalang.  Suasana begitu menarik, aku lupa segala masalah yang ada hanya fokus menikmati suasana. Selesai menyalakan kembang api, pada kembali tepar meneruskan tidur. Tenda kiri-kanan masih mengumandangkan musik.

Pukul tiga dini hari

Aku terbangun. Kabut menghilang di bawa angin menuju ke arah barat. Bulan terlihat terang, bintang bertaburan. Kemerlip lampu jalanan terlihat istimewa. Aku duduk di atas tugu. Bangunan persegi panjang berukuran empat puluh senti, panjangnya sekitar dua meter ini seperti kursi raja di istana. Aku merasa lebih tinggi dari tempat duduk Bupati saat ini. Rasanya begitu tenang, angin tak se kencang sebelumnya. Dunia mulai menampakkan wajahnya.

Saat aku beralih menghadap ke utara, lampu di jalan pantura membentang agak bundar di tepi pantai. Dari arah barat, PLTU di Kecamatan Seluke telihat gagah. Lampunya paling terang di antara yang lain. Suasana seperti inilah waktu tepat untuk menulis. Meski agak gelap, buku tulis di tas aku ambil beserta bolpoint. Saat melihat pohon-pohon seperti gambar satu dimensi yang pernah saya gambar dengan jelek waktu SD membuat aku seperti seorang sastrawan. Mampu menangkap malam dengan segala keagungan pesan yang di sampaikan Tuhan.

Pena mulai menyentuh kertas sungguhan. Tangan mulai mengutarakan fikiran. Inilah tulisan yang tertera:

KEMERDEKAAN KITA

Duaratus lima puluh juta lebih saudara kita sebangsa se tanah air hari ini merayakan ulang tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke tujupuluh satu
Lihatlah,
Lihat di belakangku
Terbentang luas seklumit surga Indonesia
Lihatlah, lihat
Bibir pantai seakan pandai melukis suasana hati
Berkelok, membentang pasir putih
Seputih tulang kita yang tumbuh membesar
Dari sejengkal tanah kita
Tanah nenek moyang
Tanah yang patut kita miliki sepenuhnya
Tanah yang patut kita kelola sewajarnya
Bukan mereka, bukan
Sungguh bukan mereka
Mereka yang mencantumkan dirinya sendiri sebagai penjajah dan menyebarkan watak penjajah
Meskipun dia berwajah manis, ber angka, berrwarna pula
Jika dia tidak memandang Indonesia dengan cinta
Maka dia bukan saudara kita
Setapak kaki ku tinggal di puncak ini
Puncak tertinggi kota kelahiranku
Rumput dan bunga, rumput berbunga
Bunga dan duri, bunga berduri
Pohon jati pohon mahoni, kaulah temanku bermain hari ini
Lembaran daun tak ada yang layu kecuali dia yang terkapar di tanah
Sesekali ku petik satu, ku bawa di perjalanan
Aku dan segala rasa cinta
Menumpahkan segala duka
Menepis segala lara
Atas kemerdekaan Republik Indonesia
Mari bersulang dengan alam
Sebelum kita membawa rasa bangga dan cinta Nusantara untuk memeluknya selamanya

17 agustus 2016

Pemandangan istimewa dengan pernak-pernik tubuh alam hanya datang tidak lebih dari satu jam. Pukul empat kabut datang lagi. Jarak pandang kembali gelap. Aku ingin kembali tidur, saat ku baringkan tubuh ini sebentar waktu terasa berjalan cepat. Pukul setengah enam para pendaki bangun. Tenda di sekitar tugu di bubarkan guna persiapan upacara kemerdekaan oleh seluruh yang hadir di puncak Argopuro. Pemandangan masih berkabut, para petugas upacara mempersiapkan kebutuhan upacara.

Peserta upacara dari berbagai desa, kecamatan, kabupaten dan kota terlihat ribut, sibuk dengan kameranya masing-masing. Begitu juga temanku. Yanto mulai ganti kostum, Memet sibuk dengan kamera hp, Topeng dan Yudi tampak kecewa dengan kabut yang menhalangi pemandangan laut. Mip dan ulum sibuk bercanda dan berfotoria. Ke dua teman Yanto berpamitan untuk turun duluan. 

Di samping tugu ada bambu panjangnya sekitar tiga meter di pakai tiang bendera. Saat tenda sekitar tugu sudah tidak ada, peserta mulai baris menghadap bendera. Yang sebelah timur menghadap ke barat yang barat menghadap ke timur.  Aku dan temanku mencari tempat enak buat menyanyikan lagu Indonesia raya bersama. Kita berjalan ke arah barat. Melewati tenda-tenda yang di depanya pada selfi semua. Aku memegang tongsis beserta hp dengan kapasitas kamera bagus. Dengan tongsis bukan berarti alay, bukan berarti anak hits. Tongsis memang mempermudah pembuatan vidio dan foto. 

Aku membuat vidio yang memperlihatkan suasana pagi itu. Perjalanan ke arah barat saya rekam. Saat sampai di ujung barat dan tidak ketemu tempat setrategis kita memutuskan untuk kembali ke timur. Rombongan dari Tuban yang kita temui di perjalanan terlihat bergerombol. Saat peserta upacara menyanyikan lagu Indonesia raya, kita dan rombongan dari Tuban  mengumandangkan sendiri di sebelah barat. Rasa nasionalisme seketika tumbuh lebih dari lima puluh persen, kita sangat bersemangat menyanyikan lagu kebangsaan. Aku bertugas merekam, tapi sayang wajahku tidak ikut ter rekam.

Vidio ke dua yang saya rekam memperlihatkan suasana upacara. Namun tidak lengkap dari awal. Setelah selesai berfoto dan membuat vidio kita menunggu matahari datang. Tapi sayang, kabut masih saja tebal malah gerimis datang tidak bilang-bilang. Jam delapan pagi kita turun. Di perjalanan angin datang begitu kencang. Jalanan licin, menakut-nakuti perasaan, takut tergelincir di jurang. Yang paling sering tergelincir adalah Mip, perawakanya yang besar agak gendut membuatnya sulit menyeimbangkan badanya. Aku, Topeng, Yudi, Memet, Mip berjalan beriringan. Sekali ada yang tergelincir satu yang lain membantu.

Terkadang trek licin menjadi hiburan di perjalanan. Bagaimana tidak menghibur coba, melihat orang tergelincir lalu mengumpat dan bangun lagi itu sesuatu banget. Misalnya saja Topeng, dia tergelincir di trek curam, tanahnya licin tapi tidak berbatu. Saat dia mengumpat kita malah saling ejek dan menertawakan satu sama lain. Selain saling ejek juga saling memperingatkan jika ada medan berbahaya. Trek terahir dekat dengan pos satu kita mendapatkan bonus menonton Mip tergelincir sampai terdengar suara “gedeblaaak…” aku menoleh ke belakang Mip suda duduk di tanah. Topeng dan Yudi tertawa lepas, aku dan Memet ikut tertawa. 

Sesampainya di pos, kita menikmati es the bersama lalu pulang ke rumah masing-masing dengan rasa syukur karna pulang dengan selamat tanpa ada suatu halangan yang berarti. Kebersamaan semalam akan menjadi ukiran sejarah yang pasti kita kenang bersama. Bangga menjadi anak Indonesia dengan segala keindahan alamnya melekat di dada. Menatap Indonesia lebih baik menjadi harapan dari kita semua. Semoga kita menjadi aktor-aktor Indonesia di masa mendatang yang akan membawa kemajuan.

Salam, DIRGRAHAYU NKRI Ke 71. Kerja Nyata membangun INDONESIA.
MERDEKA.
 

0 komentar:

Posting Komentar