foto bersama sebelum upacara 17 agustus di puncak Argopuro Lasem Rembang
Kabut tebal
menghalangi jarak pandang. Aku menghadap ke bawah, hanya bisa menerawang
keindahan gemerlap lampu kota. Di depanku dedaunan melambai di terpa angin
malam. Bulan di atas mendadak di telan kabut. Tenda pendaki berderet memanjang
dari timur ke barat. Sambil bersandar di tugu puncak gunung Argopuro, Lasem,
Rembang aku menghadap ke selatan. Melepas lelah sambil bercengkrama dengan
teman-teman. Aku kembali belajar tentang arti hidup. Malam dan kabut seakan berbisik.
bersuara di telinga kanan menjelaskan
apa itu perjuangan. Inilah cerita perjalananku dengan teman-teman mendaki
gunung tertinggi di kabupaten Rembang.
Acara muncak
dalam rangka memperingati hari ulang tahun NKRI ke tujupuluh satu di Argo Lasem
tadi malam berawal dari koordinasi lewat facebook. Argo sudah biyasa di pilih temen se kampungku
sebagai tujuan saat mengadakan acara seperti tahun baru, tujuh belasan, atau
sekedar ingin naik gunung. Aku masih ingat dua hari lalu, ketika temanku Memet
update status mengajak naik Argo. Aku yang sebelumnya juga punya keinginan
mengadakan upaca sederhana di atas Argo menyepakati ajakan Memet.
Tanpa persiapan
matang, keinginan upacara di puncak akan gagal total, itulah prasangkaku. Aku
tidak bisa menghubungi teman di rembang yang sekiranya bisa di ajak naik
gunung. Aku hanya menghubungi Topeng yang sama-sama jadi pengangguran saat ini.
Topeng bilang akan berangkat dengan Yudi, teman ngluyur sekampungnya. Karna
tidak punya peralatan lengkap, juga mengingat kapasitas Argo hanya bisa di
tumpangi sedikit pendaki, maka ku cukupkan berangkat tidak lebih dari sepuluh
orang.
Pukul setengah
lima sore, aku dan Miftah, panggilanya Mip berangkat dari rumah. Memet bilang
kalau akan berangkat dari Lamongan jam tiga sore dan akan langsung ke desa
Ngroto, pos pendakian. Yanto masih bimbang antara berangkat atau tidak. Topeng
sudah menunggu di masjid agung Pamotan. Setelah bertemu Topeng di Masjid, kita
berangkat bareng menuju Desa Ngroto. Di jalan Topeng membeli dua kembang api
panjang. Katanya akan di nyalakan saat sampai puncak.
Jam lima lebih
kita sampai di Ngroto, memarkirkan motor, langsung tancap gas berjalan naik. Yanto
ku telfon, dia jadi ikut naik dengan Ulum tapi menyusul. Aku pesan makanan
padanya karna perut sudah mulai minta
nasi. Sebenarnya ada dua pilihan, menunggu azan mahrib lalu sholat berjama’ah
di masjid depan tempat parkir atau langsung naik. Karna kita hanya bawa satu
senter, takut hari akan terlalu gelap maka kita putuskan langsung naik. Nanti bisa sholat
di atas.
Perjalanan dari
tempat parkir ke atas butuh waktu sekitar dua jam. Meski ketinggianya Cuma delapan ratus enam
MDPL, namun treknya bagiku lumayan
menguras tenaga. Apalagi bagi pemula, perjalanan di Argo pasti cukup
melelahkan. Dari bawah aku berharap masih mendapat tempat istirahat, karna sebelumnya
melihat parkiran di depan rumah warga
sudah banyak motor. Kalaupun tidak dapat tempat mendirikan tenda yang penting dapat
tempat sekiranya cukup untuk membaringkan tubuh.
Pertama kali kita jalan, area kebun warga menjadi pemandangan kanan-kiri. Setelah itu
baru kita akan memasuki hutan. Untuk jenis pohon yang tumbuh di sekitar gunung aku kurang tahu. Argo merupakan salah satu
hutan lindung yang ada di kabupaten Rembang. Jika kita naik pada siang hari
maka pemandangan hutanya terlihat masih alami. Pohonya masih rimbun,
pendakianku sebelumnya sempat melihat beberapa satwa liar. Yang paling menarik
ketika melihat kera, saat itu aku sedikit takut karna naik hanya berdua. Tapi
keranya lari saat tau kalau ku amati.
Di tengah
perjalanan. Mip, Topeng dan Yudi mulai tampak lelah. Dia mulai menanyakan butuh
berapa lama untuk sampai puncak. aku khawatir kalau bilang masih lama nanti
akan menurunkan semangatnya. Aku bohongi mereka dengan mengatakan “santai, iku
lho karek sitik. Delok ah,,, nduwur wes ketok.” Awalnya ketiga temanku percaya.
Tapi, karna tidak sampai-sampai di atas dia mulai menanyakan lagi dan sesekali
mengumpat. “asem eg, di bodoni Zaim. Jarene kurang sitik jebule ijeh adohe
ngene” celetuk Mip. Bahkan temenku ketemu di jalan, dia anak Tuban bilang
“kapan, yo…yo… tekan duwur iki. Ndak iseh limang jam o…….”
Hampir dua jam
kita berjuang naik. Sesampainya di atas, segera mencari tempat agak
lapang. Tenda pendaki terlihat berderet
memanjang, berdempetan. Tak ada tempat lagi untuk mendirikan tenda. Aku melihat
di sebelah selatan tugu ada tempat agak lapang. Luasnya hanya satu meter
setengah memanjang ke barat. Biasa di pakai untuk jalan anak-anak. Layar biru ku gelar untuk istirahat menunggu
Memet dan Yanto.
Pukul delapan
malam
Kabut tebal
menghalangi jarak pandang. Angin kencang dari timur mengusir keringat, membuat
daun melambai. Aku menghadap ke bawah.
Berharap bisa menikmati gemerlap lampu pedesaan. Bulan yang semula terang mendadak menghilang.
Mip, melepas lelah, membuang gundah. Dia tidur pulas. Aku masih menunggu Memet,
Yanto, Ulum dan teman lain. Berharap dia segera sampai atas.
Pukul setengah
sepuluh
Aku sering
menengok ke arah timur. Melihat orang lalu-lalang mencari tempat istirahat. Di
sebelah barat ramai sekali. Segerombol anak sedang memainkan gitar dan
bernyanyi bersama. Sepertinya asyik sekali, rasanya ingin gabung tapi rasa
capek belum hilang. Memet dan satu temanya terlihat memakai kaos, bersepatu,
membawa tas pegawai. Saat sampai di depanku aku panggil namanya, dia sepertinya
tidak tahu kalau aku yang sedang duduk di samping tugu. Memet membawa kabar
bahwa Yanto sudah sampai Pamotan, tapi dia jalan duluan. Kita menikmati rokok
bersama. Tak lama kemudian Ulum, Yanto dan dua temanya datang.
Yanto membawa
nasi, lele goreng, tempe goreng, tahu dan sambal tomat. Kita makan bersama
dengan lahap. Sehabis makan, Yanto tidur nyenyak tanpa ingin menikmati suasana
malam di gunung. Dia seperti hanya pindah tidur doang. Sedang yang lain saling
bercerita, mengobrol sampai larut malam.
Jam menunjukkan hampir pukul nol-nol. Ada agenda menyalakan kembang api
di waktu tersebut. Tapi aku tertidur, sepertinya teman di sampingku juga tidur
semua.
Pukul satu dini
hari, setelah terbangun dari tidur gara-gara hujan turun. Aku melihat kabut
masih tebal. Jarak pandang hanya beberapa meter saja. Saat hujan datang, tikar
yang semula kita pakai sebagai alas tidur kita ubah menjadi atap penangkal
hujan. Untung, selang sekitar sepuluh menit hujan reda. Tikar kita pakai menjadi alas untuk
tidur lagi. Rencana menyalakan kembang api pukul nol-nol WIB gagal. Karna kita
baru bisa bangun jam satu maka saat
hujan reda kita baru menyalakan kembang api.
Walaupun Topeng
seorang ekonom yang mempunyai tekat untuk membawa kabupaten Rembang menjadi
lebih baik tapi untuk urusan memegang kembang api dia tidak berani. Entah tidak
berani sungguhan, atau hanya berpura-pura aku tidak tahu. Dua kembang api yang
ku bawa dari bawah dan sempat di bicarakan cewek-cewek saat hampir sampai atas
ini akan ku nyalakan sendiri. Ada cewek bilang “wah, ono seng nggowo kembang
api. Lak asik iki.” Temanya menyahut. Aku terus berjalan ke atas tidak
mendengar pembicaraan selanjutnya.
Topeng memegang hp, bersiap mengabadikan momen
malam berkabut dengan letusan warna-warni kembang api. Aku pegang satu kembang
api panjang dengan penuh rasa bangga. Rasanya aku kembali menjadi anak kecil
bermain kembang api di malam lebaran. Mip, memegang bagian atas kembang api dan
menarik ucengnya agar bisa di nyalakan memakai korek bensol. Mulanya aku agak
takut, karna Topeng tidak berani.tapi ada rasa yang hadir “anak kecil aja
berani masak aku tidak”.
Kembang api
menyala. Langit penuh kabut di hiasi
percikan cahaya warna-warni kembang api. Orang-orang di sekitar keluar tenda
untuk menonton. Banyak yang berteriak menunjukkan rasa gembira. Ada juga yang
berteriak lantang “merdeka..” aku fokus memegang kembang api. Temen-temen
mencoba mengambil gambar tapi kabut
mencadi penghalang. Suasana
begitu menarik, aku lupa segala masalah yang ada hanya fokus menikmati suasana.
Selesai menyalakan kembang api, pada kembali tepar meneruskan tidur. Tenda
kiri-kanan masih mengumandangkan musik.
Pukul tiga dini
hari
Aku terbangun.
Kabut menghilang di bawa angin menuju ke arah barat. Bulan terlihat terang,
bintang bertaburan. Kemerlip lampu jalanan terlihat istimewa. Aku duduk di atas
tugu. Bangunan persegi panjang berukuran empat puluh senti, panjangnya sekitar
dua meter ini seperti kursi raja di istana. Aku merasa lebih tinggi dari tempat
duduk Bupati saat ini. Rasanya begitu tenang, angin tak se kencang sebelumnya.
Dunia mulai menampakkan wajahnya.
Saat aku beralih
menghadap ke utara, lampu di jalan pantura membentang agak bundar di tepi
pantai. Dari arah barat, PLTU di Kecamatan Seluke telihat gagah. Lampunya
paling terang di antara yang lain. Suasana seperti inilah waktu tepat untuk
menulis. Meski agak gelap, buku tulis di tas aku ambil beserta bolpoint. Saat
melihat pohon-pohon seperti gambar satu dimensi yang pernah saya gambar dengan
jelek waktu SD membuat aku seperti seorang sastrawan. Mampu menangkap malam
dengan segala keagungan pesan yang di sampaikan Tuhan.
Pena mulai
menyentuh kertas sungguhan. Tangan mulai mengutarakan fikiran. Inilah tulisan
yang tertera:
KEMERDEKAAN KITA
Duaratus lima
puluh juta lebih saudara kita sebangsa se tanah air hari ini merayakan ulang
tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke tujupuluh satu
Lihatlah,
Lihat di
belakangku
Terbentang luas
seklumit surga Indonesia
Lihatlah, lihat
Bibir pantai
seakan pandai melukis suasana hati
Berkelok, membentang
pasir putih
Seputih tulang
kita yang tumbuh membesar
Dari sejengkal
tanah kita
Tanah nenek
moyang
Tanah yang patut
kita miliki sepenuhnya
Tanah yang patut
kita kelola sewajarnya
Bukan mereka,
bukan
Sungguh bukan
mereka
Mereka yang
mencantumkan dirinya sendiri sebagai penjajah dan menyebarkan watak penjajah
Meskipun dia
berwajah manis, ber angka, berrwarna pula
Jika dia tidak
memandang Indonesia dengan cinta
Maka dia bukan
saudara kita
Setapak kaki ku
tinggal di puncak ini
Puncak tertinggi
kota kelahiranku
Rumput dan bunga,
rumput berbunga
Bunga dan duri,
bunga berduri
Pohon jati pohon
mahoni, kaulah temanku bermain hari ini
Lembaran daun tak
ada yang layu kecuali dia yang terkapar di tanah
Sesekali ku petik
satu, ku bawa di perjalanan
Aku dan segala
rasa cinta
Menumpahkan
segala duka
Menepis segala
lara
Atas kemerdekaan
Republik Indonesia
Mari bersulang
dengan alam
Sebelum kita
membawa rasa bangga dan cinta Nusantara untuk memeluknya selamanya
17 agustus 2016
Pemandangan
istimewa dengan pernak-pernik tubuh alam hanya datang tidak lebih dari satu
jam. Pukul empat kabut datang lagi. Jarak pandang kembali gelap. Aku ingin
kembali tidur, saat ku baringkan tubuh ini sebentar waktu terasa berjalan
cepat. Pukul setengah enam para pendaki bangun. Tenda di sekitar tugu di
bubarkan guna persiapan upacara kemerdekaan oleh seluruh yang hadir di puncak
Argopuro. Pemandangan masih berkabut, para petugas upacara mempersiapkan
kebutuhan upacara.
Peserta upacara
dari berbagai desa, kecamatan, kabupaten dan kota terlihat ribut, sibuk dengan
kameranya masing-masing. Begitu juga temanku. Yanto mulai ganti kostum, Memet
sibuk dengan kamera hp, Topeng dan Yudi tampak kecewa dengan kabut yang
menhalangi pemandangan laut. Mip dan ulum sibuk bercanda dan berfotoria. Ke dua
teman Yanto berpamitan untuk turun duluan.
Di samping tugu
ada bambu panjangnya sekitar tiga meter di pakai tiang bendera. Saat tenda
sekitar tugu sudah tidak ada, peserta mulai baris menghadap bendera. Yang
sebelah timur menghadap ke barat yang barat menghadap ke timur. Aku dan temanku mencari tempat enak buat
menyanyikan lagu Indonesia raya bersama. Kita berjalan ke arah barat. Melewati
tenda-tenda yang di depanya pada selfi semua. Aku memegang tongsis beserta hp
dengan kapasitas kamera bagus. Dengan tongsis bukan berarti alay, bukan berarti
anak hits. Tongsis memang mempermudah pembuatan vidio dan foto.
Aku membuat vidio
yang memperlihatkan suasana pagi itu. Perjalanan ke arah barat saya rekam. Saat
sampai di ujung barat dan tidak ketemu tempat setrategis kita memutuskan untuk
kembali ke timur. Rombongan dari Tuban yang kita temui di perjalanan terlihat
bergerombol. Saat peserta upacara menyanyikan lagu Indonesia raya, kita dan
rombongan dari Tuban mengumandangkan
sendiri di sebelah barat. Rasa nasionalisme seketika tumbuh lebih dari lima
puluh persen, kita sangat bersemangat menyanyikan lagu kebangsaan. Aku bertugas
merekam, tapi sayang wajahku tidak ikut ter rekam.
Vidio ke dua yang
saya rekam memperlihatkan suasana upacara. Namun tidak lengkap dari awal.
Setelah selesai berfoto dan membuat vidio kita menunggu matahari datang. Tapi
sayang, kabut masih saja tebal malah gerimis datang tidak bilang-bilang. Jam
delapan pagi kita turun. Di perjalanan angin datang begitu kencang. Jalanan
licin, menakut-nakuti perasaan, takut tergelincir di jurang. Yang paling sering
tergelincir adalah Mip, perawakanya yang besar agak gendut membuatnya sulit
menyeimbangkan badanya. Aku, Topeng, Yudi, Memet, Mip berjalan beriringan.
Sekali ada yang tergelincir satu yang lain membantu.
Terkadang trek
licin menjadi hiburan di perjalanan. Bagaimana tidak menghibur coba, melihat
orang tergelincir lalu mengumpat dan bangun lagi itu sesuatu banget. Misalnya
saja Topeng, dia tergelincir di trek curam, tanahnya licin tapi tidak berbatu.
Saat dia mengumpat kita malah saling ejek dan menertawakan satu sama lain.
Selain saling ejek juga saling memperingatkan jika ada medan berbahaya. Trek
terahir dekat dengan pos satu kita mendapatkan bonus menonton Mip tergelincir
sampai terdengar suara “gedeblaaak…” aku menoleh ke belakang Mip suda duduk di
tanah. Topeng dan Yudi tertawa lepas, aku dan Memet ikut tertawa.
Sesampainya di
pos, kita menikmati es the bersama lalu pulang ke rumah masing-masing dengan
rasa syukur karna pulang dengan selamat tanpa ada suatu halangan yang berarti.
Kebersamaan semalam akan menjadi ukiran sejarah yang pasti kita kenang bersama.
Bangga menjadi anak Indonesia dengan segala keindahan alamnya melekat di dada.
Menatap Indonesia lebih baik menjadi harapan dari kita semua. Semoga kita
menjadi aktor-aktor Indonesia di masa mendatang yang akan membawa kemajuan.
Salam, DIRGRAHAYU
NKRI Ke 71. Kerja Nyata membangun INDONESIA.
MERDEKA.
0 komentar:
Posting Komentar