NEO-MODERENISME
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia
Dosen
Pengampu : Rohmah Ulfah, M.Ag
Disusun Oleh :
1. Muslih (124111027)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
sederhana Neo Modernisme dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”.
Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas baru pada kecendrungan
pemikiran islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai sintesis
antara pola pemikiran tradisionalime dan modernisme.[1]
Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar
bahwa islam harus
dilibatkan dalam pergulatan modernisme.[2]
Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan.
Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru
yang lebih baik[3].
Sebagaimana
anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung terlalu menyatu
dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan sangat selektif
dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi
paham tradisionali khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan.
Dari sini
lah kemudian lahirlah paham modernisme. Modernisme merupakan gerakan
pembaharuan yang berusaha melawan kemapan paham tradisional. Ciri penting dari
paham modernisme adalah usaha pemurnian agama islam dengan memberantas segala
yang berbau khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin melepaskan diri dari
ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[4]
kalangan modern memandang, hal ini merupakan alternative untuk
mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak heran jika bidang garapan yang
digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari kelembagaan, pendidikan dan
keorganisasian.
Namun
demikian, apa yang dirancang oleh paham modern ini tidak cukup mampu dan kuat
untuk mengatasi problem-problem yang muncul kemudian. Banyak kritik
bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai paham hanya terbelenggu oleh
rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan sehingga kehilangan kesegaran
orientasi yang dimiliki.
Menurut Nor
Cholish Madjid, slogan paham modernisme, yaitu kembali pada Al Quran dan
penentangan terhadap tradisi memiliki efek penolakan atas warisan khazanah
islam klasik. Sehingga, lanjut madjid, hal ini lah yang mengakibatkan
modernisme kekeringan intelektual.[5]
Atas dasar
inilah Neo-modernisme muncul untuk menjembatani kedua paham tersebut. Paham
modernisme berpandangan bahwa paham tradisional dan modern sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan. Karena itu. Neo-modernisme berusaha menggabungan
keduanya. Apa yang baik pada tradisional harus tetap dipegang. Sebaliknya, apa
yang baik pada paham modernis dapat dijadikan pijakan.
Modernisme
bukan sesuatu yang harus ditolak. Tetapi, dengan modernisme juga, bukan berarti
alam pemikiran tradisional harus dikesampingkan. Bahkan, dalam beberapa hal dua
pemikiran ini saling seiring dan sejalan.[6]
Dalam
Makalah ini penulis hanya akan membatasi pembahan penulis kedalam tiga pokok
pembahasan yakni, Munculnya gerakan Neo-modernisme Islam di Indonesia, tokoh neo
modernism islam di Indonesia dan Wacana-wacana yang diusung oleh penganut paham
neo-modernisme di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Munculnya gerakan
Neo-modernisme ?
2.
Siapakah Tokoh Neo-modernisme ?
3.
Bagaimana Wacana Neo-modernisme ?
BAB II
PEMAHASAN
1. Munculnya
Gerakan Neo-modernisme Di Indonesia
Makmun
Mukmir dalam bukunya Tafsir Neo-Modernis menyebutkan bahwa gerakan
neo-modernisme muncul sebagai wujud respon terhadap proses transformasi sosial
yang mengalami stagnasi, terutama di picu oleh tiga hal pokok yaitu :
1. Lambatnya
proses transformasi sosial keagamaan yang di capai oleh organisasi pembaharu
tradisionalis dan modernis seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
sebagai arus Islam di Indonesia.
2. Menguatnya
gerakan idealisme Islam yang memiliki cita cita menjadikan Islam sebagai dasar
Negara Republik Indonesia, bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim mereka
mencita citakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
3. Adanya pola
perubahan pembangunan di dalam negeri Indonesia yang lebih mengutamakan
kepentingan bersama dengan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan,
geografis dan sebagainya.[7]
2. Tokoh
Neo-modernisme
Istilah
Neo-modernisme diperkenalkan oleh oleh Fazlurrahman, seorang tokoh gerakan
pembaharuan islam asal Pakistan. Konsep neo-modernisme Fazlurrahman berusaha
memahami pemikiran pemikiran islam dan barat secara padu. Karena, bagi Rahman,
islam menyimpan nilai-nilai moernitas jika dipahami secara utuh dan menyeluruh.
Bukan secara parsial yang justru akan melahirkan sikap eksklusif, jumud, dan
intoleran terhadap agama lain.[8]
Selanjutnya,
Fazlurrahman membagi dialektika perkebangan pembaharuan islam kedalam empat
model gerakan. Pertama, revivalis modernis, yang muncul pada abad ke-18 dan 19,
modernism klasik yang muncul pada pertengahan abad 19 dan 20, revivalisme pasca
modernis atau neo-fundamentalis dan neo-modernisme itu sendiri. neo modernism
Fazlurrhman memiliki karakter utama pengembangan suatu metodologi sistematis
dengan melakukan rekonstuksi islam secara total dan tuntas pada akar-akar
spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan islam modern secara cerdas dan
bertanggung jawab.[9]
Gagasan
neo-modernisme Fazlurrahman di atas kemudian menginspirasi tokoh tokoh
pembaharus islam di Indonesia, baik secara langsung atau tidak langsung.
Pengaruh secara langsung ialah adanya hubungan secara langsung dengan tokoh
pembaharu tersebut. Pengaruh secra tidak langsung ialah dapat melalui
buku, majalah, surat kabar atau yang lainnya. Adapun tokoh noe-modernisme yang
ada di Indonesia ialah Harun Nasution, Mukti Ali, Norcholis Madjid, munawir
Syadzali, Dawa Raharjo, Djohan Efendi, Kuntowijoyo dan Abdurrahman Wahid.
Ahmad Amir
Aziz Dalam Bukunya Neo-Modernisme Islam di Indonesia mengatakan, bahwa
pemikir-pemikir di atas telah mendapat banyak simpati dari seluruh lapisan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya buku-buku mereka yang laku di
pasaran. Ide-ide mereka pun, meskipun sering kontroversial, sepat sekali
menjadi wacana publik yang mampu menggairahkan semangat intelektualisme.[10]
Menurut
Bachtiar, kemunculan neo-modernisme sangat menarik mengingat tokoh-tokohnya
telah bersentuhan dan mengalami sosialisasi dengan pemikiran tradisional dan
modern sekaligus. Nor Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, misalnya.
Di satu
pihak, Norcholis Madjid mengalami pendidikan pesantren. Di lain pihak, pada
masa remaja, ia disekolahkan kepesantren gontor, sebuah pesantren modern.
Bahkan ketika ia menjadi mahasiswa, ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Islam, sebuah organisasi indenpenden tetapi relative berafiliasi pada pemikiran
modernis.[11]
Demikian pula, Abdurrahman Wahid.
3. Wacana
Neo-modernisme
Dalam kontek
pemikiran sosial-politik, sebagaimana dikatakan Fachri Ali Bachtiar Efendy,[12]
sikap pemikir noe-modernis yang akomodatif terhadap pemikiran modernis
dan tradisionalis berpengaruh terhadap cara pandang kaum modernis dalam melihat
hubungan islam dan Negara. Hal ini dapat dilihat dari prodak prodak
pemikirannya yang mereka usung. Adurrahman Wahid dan Nor Cholis Madjid adalah
contohnya.
Adapun
tema-tema yang menjadi concern cendikiawan neo-modernisme berkaitan
dengan kekuasaan, pluralism agama, islam dan demokrasi dan islam dan
universalime.
1.
Islam dan
Politik
“Islam Yes,
partai Islam No” demikian salah satu ungkapan Norcholis Madjid. Menurutnya,
bahwa tidak ada Negara islam. Dalam kaitan islam dan politik, pemikiran
neo-modernisme hendak mendamaikan atau menempatkan hubungan harmonis antara
cita-cita islam dan Negara.[13]
Pembaharuan
Norcholis Madjid merupakan penjelasan lebih halus dari konsep kesesuaian islam
dan modernisasi sosio-politik Indonesia kontemporer.[14]
Dalam hal ini Madjib merujuk pada pada konstutusi Madinah sebagai contoh dasar
keislaman, dimana, ia merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah islam
yang diperlukan oleh masyarakat madinah pada waktu itu.[15]
Sementara
Abdurrahman Wahid mengatakan:
“Tanpa
pancasila Negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas yang akan ada
selamanya. Ia adalah gagasan tentang Negara yang harus kita miliki dan kita
perjuangkan”.
Dari
perkataan tersebut, Wahid hendak menempatkan islam tidak secara formal. Tetapi,
nilai-nilai islam lah yang harus dipegang sebagai fondasi moral umat islam
dalam masyarat majemuk seperti Indonesia.
2.
Islam dan
Demokrasi
Neo-modernisme
menganggap bahwa tak ada pertentangan antara islam dan demokrasi. Tetapi,
mencari kaitan antara keduanya tidak terlalu mudah. Sebab, kalau kita ingat,
sejumlah idiologi pernah menyatakn kritik terhadap agama. Misal, hanya
dipandang tak lebih sebagai keluh masyarakat tertindas. Sisi positif agama
hanya sebagai penenang sementara. Sementara bagi masyarat yang mapan, agama
hanya dijadikan legitimasi kekuasaan.[16]
Di sisi lain, sebagaimana pandangan ulama dan penguasa politik, bahwa dalam
islam tak ada tempat untuk demokrasi. Alasan mereka adalah bahwa demokrasi
adalah kekuasaan di tangan rakyat. Sementara dalam doktrin islam kekuasaan
mutlak berpusat pada kekuasaan tuhan.[17]
Oleh karena
itu, Islam dan demokrasi, bagi kalangan neo-modernis, ditafsirkan sebagai
sesuatu yang sesuai, tidak ada benturan- dalam arti asalnya. Nor Cholis Madjid
berpendapat, salah satu nilai demokrasi adalah egaliter: persamaan. Prinsip
egaliter ini adalah prinsip yang terdapat dalam islam. Egalitarianisme dalam
islam di sini, ialah adanya kesamaan, keadilan, eksistensi dan demokrasi,
prinsip-prinsip musyawarah, perwakilan dan partisipasi, termasuk keadilan hukum
yang telah diteapkan sejak zaman Nabi.[18]
Analisis Norcholis Madjid yang banyak berdasarkan kepada ayat-ayat al Qur’an,
seperti tentang tanggung jawab, musyawarah, keadilan dan lainnnya sampai kepada
sebuah kesimpulan bahwa islam sepanjang ajaran agamanya, tidak menghendaki
sesuatu kecuali demi kebaikan bersama.[19]
Sementara
Abdurrahman Wahid lebih menekankan pada hubungan fungsional dan simbiotik.
Menurutnya, islam adalah seluruh keimanan umat islam, sementara pancasila
harus mewadahi seluruh aspek agama di Indonesia.[20]
Menurutnya, nilai demokrasi itu ada yang bersifat pokok dan yang bersifat lanjutan.
Adapun nilai pokok itu adalah kebebasan, keadilan dan musyawarah. Kebebsan yang
dimaksud adalah kebebasan individu dilam kuasa Negara atau hak individu dan hak
kolektif dalam masyarakat. Keadilan memiliki arti bahwa terbukanya peluang bagi
warga Negara untuk melakukan apa yang diinginkan. Sementara musyawarah berarti
bentuk atau cara pemeliharaan kebebasan dan dan memperjuangkan keadilan itu
lewat jalur permusyawaratan.[21]
Untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga Negara tidak hanya ditentukan
sepihak dari pihak pengelola Negara tetapi harus melaui musyawarah dengan
masyarakat yang ada. Pemilihan umum merupakan representasi dari sistem
musyarawah itu sendiri.
3.
Pluralisme
Agama dan Toleransi
Sebagaimana
telah diketahui, islam telah merambah keberbagai penjuru. Penyebarnya agama
islam tak pelak mempertemukan agama Ibrahim ini dengan agama-agama yang lain.
Di Indonesia, agama islam juga tampil ditengah-tengah banyak agama seperti
Kristen, katolik, hindu, budha dan yang lainnya.
Pesoalan
yang sering kali muncul adalah adanya truth claim terhadap kebenaran
masing-masing agama yang menyebabkan terjadinya permusuhan antar agama.
Ada empat
pemahaman mengenai pluralisme agama jika dihubungkan dengan kebenaran agama
yang menimbulkan klaim kebenaran: pertama, tidak setiap agama memiliki
kebenaran karena kebenaran mutlak hanya pada satu agama. Kedua, kebenaran ada
pada setiap agama, tapi kebenaran mutlak hanya ada pada satu agama. Ketiga,
kebenaran itu ada pada semua agama secara menyeluruh. Keempat, sekalipun
kebenaran ada pada masing-masing agama tetapi, pada akhirnya akan menuju pada
kebenaran tunggal. Sementara dari ke empat pemaham di atas yang
berkembang di tengah masyrakat adalah pemahaman yang lebih superior-inferior
tentang kebenaran agama sehingga truth claim tidak bisa dihindarkan.[22]
Dari sini
neo-modernisme islam memiliki pandangan bahwa klaim kebenaran hanyalah sebuah
ajaran teologi yang perlu mendapat interpretasi ulang. Tidak ada kebenaran mutlak,
sebab kebenaran tunggal hanya ada pada tuhan. Hal ini didasarkan pada pandangan
islam bahwa islam merupakan agama universal dan fitrah yang memuliakan manusia.[23]
Pandangan
Madjid terhadap pluralisme dan toleransi di dasarkan pada kebenaran ajaran kitab
suci dan pengalam tradisi klasik islam, dimana, ada ada kaum menoritas dan
mereka bebas dalam melakukan ibadah bebas memeluk agamanya.
Selain itu,
islam merupakan agama universal, tidak hanya untuk satu golongan. Hal ini,
menurut Madjid dapat dilihat dari kata islam itu sendiri, yaitu sikap tulus dan
pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, Islam bukan lah agama yang berdiri
sendiri. Melainkan, ia tampil dalam rangkain agama-agama islam lainnya yang telah berdiri terlebih dahulu.[24]
Sementara
Wahid hendak menempatkan islam dalam substansi ajarannya, bukan pada hal yang
sifatnya setting sosial. karena itu wahid menyatakan bahwa universalime
islam didasarkan pada adanya lima jaminan. Pertama, keselamatan warga negara
dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, keselamatan keyakinan agama
masing masing. Ketiga, keselamatan keturunan. Ke empat, keselamatan harta benda
dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi (wahid
via Anwar, 1995: 233)
4.
Islam dan
Universalisme
Menurut neo-modernisme
islam, islam dan universalime sangat terkait. Islam tidak menafikan
universalime, tetapi tidak juga menolak lokalisme. Keduannya seharusnya menjadi
pemahaman islam yang bercorak universal, modern, dan lokal.[25]
Pangan
Norcholis madjid mengenai hal ini dimulai dari pengertian tentang islam
sendiri. bahwa islam yang berarti pasrah itu tidak hanya di ajarkan
kepada hambanya. Melaikan pada hambanya yang berkaitan dengan dunia manusia. Ia
harus tumbuh dari dalam bukan paksaan. Keagamaan yang di dasarkan pada paksaan
akan kehilangan dimensinya yang paling mendasar yaitu keikhlasan.[26]
Sementara
Wahid mengatakan, universalime islam di dasarkan pada paham kebenaran
universal, di mana ajaran islam tidak kemudian mendorongnya untuk memonopoli
dan mendominasi. Istilah pribumisasi islam yang dilontarkan oleh wahid adalah
istilah yang penting dalam rangka menghadirkan universalitas islam dalam di
tengah lokalitas. Lokalitas dalam pandannya tidak sama dengan marjinalisasi
atau pembongkaran terhadap substasi islam. Perubahan salam dengan selamat pagi,
misalnya. Disini wahid hendak menempatkan universalime islam dari segi
substansi bukan pada formalitasnya.[27]
Penutup
E. Kesimpulan
Dari
beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan kedalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Munculnya
Paham Neo-modernisme dilatar belakangi oleh kegelisahan para pemikir islam yang
tidak puas dengan pemikiran tradisional dan pemikiran yang diusung oleh pemikir
modern.
2. Di
Indonesia, kemunculan neo-modernisme secara khusus dilator belakangi oleh tiga
hal; pertama ketidak puasan terhadap produk pemikiran muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama’ (NU). Kedua, menguatnya gerakan idealisme islam untuk
mendirikan Negara islam. Ketiga, adanya pola pembangunan yang mengutamakan
kepentingan bersama tanpa membedakan suku, ras dan agama.
3. Lahirnya
tokoh tokoh neo-modernisme di Indonesia tidak secara mandiri, melainkan mereka
terinspirasi dari tokoh timur tengan seperti Fazlurrahman.
4. Dari
kesimpulan yang kedua di atas, maka tidak heran jika wacana-wacana yang diusung
oleh neo-modernisme syarat dengan pemaduan antara islam dengan wacana-wacana
modern di Indonesia seperti politik, pluralisme, demokrasi, toleransi dan
universalime.
Demikian
makalah yang singkat ini semoga dapat bermanfaat. Besar harapan penulis untuk
dikritik dan diberi masukan sebagai pertimbangan perbaikan untuk penulisan
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Aziz, Ahmad
Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Rineka Cipta: Jakarta, 1999)
Efendy,
Fachri Ali Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam, (Mizan: Bandung, 1986)
Mu’min
Ma’mun, Tafsir Neo-modernis, (Idea Press: Yogyakarta, 2010)
Qodir Zuli, Pembaharuan
Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2006)
Rizem's
Archives’ blog, Neomodernisme Menuju Islam Modernis.htm
[1].Ahmad Amir
Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999),
hal. 15
[2]
Zuli Qodir, Pembaharuan
Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hal. 66
[4]Ahmad Amir
Aziz, hal, 4
[6] Zuli Qodir,
hal. 67
[7]Ma’mun
Mu’min, Tafsir Neo-modernis, (Jogjakarta: Idea Press, 2010), Hal. 6
[8]Rizem's
Archives’ blog, Neomodernisme Menuju Islam Modernis.htm, mengutip Abdul
A’la Al-Maududi dalam bukunya “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jejak
Fazlur Rahman Dalam Wacana Islam di Indonesia”.
0 komentar:
Posting Komentar