Sabtu, 14 November 2015

PENTAS TARI dan Ki NARTO SABDO




PENTAS TARI dan Ki NARTO SABDO

Jum’at malam, 13 november 2015 aku dan satu temanku menyempatkan hadir di gedung Taman Budaya Raden Saleh setelah sebelumnya menikmati mi instan dan kopi di buds coffe. Sebelum ke buds coffe, sebenarnya aku mau ke matahari untuk mencari popcorn, ingin mencari inspirasi bisnis dan juga menikmati malam di tengah keramaian. Karena saat baru keluar dari BPI gerimis turun maka saya banting setir ke buds coffe.
Malam  ini langit di liputi mendung, aku dan secangkir kopi sudah nyaman berdekapan. Temenku yang sibuk dengan bbm nya mendapati info bahwa di TBRS sedang berlangsung pagelaran seni tari, sontak dia mengajakku untuk segera bergegas ke sana.
Gerimis di perjalanan tak membuatku merasa terganggu, mungkin karena aku juga penyuka seni. Sesampainya di TBRS, sudah berderet motor di depan gedung. Aku masuk lewat pintu depan, daftar absensi yang mau aku isi tidak jadi. Aku masuk mengambil posisi duduk di lantai dua.
Ternyata pagelaran seni tari, aku mencoba menikmati  meski saat awal merasa tidak nyaman. Ruanganya pengap, terlihat tidak ada fentilasi yang memadai. Seharusnya gedung se besar itu kalau fentilasinya tidak memadai setidaknya ada ac.
Baru setelah para cewek yang berdandan khas jawa muncul dan menari mataku melek, mencoba menikmati raut wajah muda yang berbalut busana khas jawa. Sungguh cantik, batinku tapi busana itu hanya wajar di pakai ketika tampil dalam pertunjukan kesenian. Aku tidak mendapati ada cewek yang pada hari biyasa memakai busana tersebut.
Mungkin busana tersebut di anggap tidak islami karna tidak menutupi aurot. Meski definisi aurot itu multi tafsir, artinya boleh dikata bahwa aurot orang jawa, ya seperti busana yang menjadi cerminan sebuah adat jawa sendiri. Bukan melebur dalam ketentuan budaya Arab sebagai pusat islam tempo dulu, atau fikih klasik.
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa busana jawa memang bagus, punya nilai estetika yang tinggi dan enak di pandang. Terlepas dari ketidak selarasan dengan busana islami, saya rasa masih banyak para pecinta adat menjaga busana adi luhung milik kita bersama tersebut.
Kembali ke pementasan, aku tidak tahu mengenai judul dan tema yang di angkat pada pagelaran seni tari malam itu, tapi aku menikmati. Yang saya tahu, melihat dari adegan tari dan busana yang di pakai penari, menunjukkan adat jawa dan colonial. Terlihat jelas dalam tarian itu ada semacam pertentangan antara orang pribumi yang di gambarkan di pimpin oleh seorang raja berhasil mengalahkan colonial.
Karena aku datang terlambat,  membuatku merasa pertunjukanya Cuma sebentar. Setelah tampil para peserta berfoto bersama lalu pada sibuk selfi dengan kerabatnya masing-masing. Tak mau ketinggalan, temanku juga ikut foto bareng salah satu peserta tari. Terlihat cerah raut wajah temanku ketika si penari mau di ajak foto bareng, memang sebuah kebanggan tersendiri bisa foto dengan penari yang berbusana adat, perasaanku.
Di tengah pertunjukkan sebenarnya ada hal yang membuatku mengingat masa lalu. Ada foto ki Narto Sabdo yang terpampang di sebelah kanan panggung. Itu membuatku mengingat ke dua simbahku, yang saya ingat nama Ki Narto Sabdo adalah termasuk deretan dalang yang pernah di sebut simbahku. Simbahku pernah berkata padaku bahwa Ki Narto Sabdo dan Ki Anom Suroto  merupakan sosok dalang yang dia sukai.
Aku ingat betul setiap malam sebelum  tidur, simbah selalu mendengarkan wayang semalam suntuk. Selain sering di ceritakan masa lalu simbahku, cerita pewayangan juga menjadi bahan ceramah simbahku dalam setiap menasehatiku.
Memandang foto Ki Narto yang terpampang tersebut juga membuatku bertanya seberapa hebatkah kemampuan Ki Narto? Sampai simbahku bisa di bilang ngefans padanya. Yang pasti wayang selain sebagai kesenian masyarakat juga sebagai salah satu metode dakwah. Di dalam pementasan wayang pasti ada pesan moral adi luhung yang di sampaikan dan itu mampu menjaga masyarakat pada waktu itu untuk menghasilkan sebuah adat kebiasaan yang seimbang.
Seimbang antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan tuhanya dan manusia dengan alam semesta. Jangan heran ketika melihat orang jawa yang dulu umurnya panjang-panjang, fisiknya kuat-kuat itu saya rasa karna orang jawa dahulu mampu memaknai hidup dengan baik dan salah satu  jalan pembelajaran memaknai hidup tersebut adalah melalui pagelaran wayang.
Setelah penampilan selesai aku keluar, menunggu hujan reda. Saat hujan sudah mulai agak berkurang aku menerobos. Sesampainya di Karang ayu terlihat di sepanjang jalan dan di kanan kiri bagunan ruko lampunya pada mati. Sampai di Ngaliyan ternyata juga mati.
Aku heran pada teman sekelasku yang edan sama game coc. Beberapa hari ini dia tak pernah beranjak dari kamar tidurku hanya menghadapi hp untuk main coc. Sampai lampu matipun dia masih main, hp nya di cas pada netbook yang kebetulan masih menyala.
Tidur…….!