PENTAS TARI dan Ki NARTO SABDO
Jum’at malam, 13 november 2015 aku
dan satu temanku menyempatkan hadir di gedung Taman Budaya Raden Saleh setelah
sebelumnya menikmati mi instan dan kopi di buds coffe. Sebelum ke buds coffe,
sebenarnya aku mau ke matahari untuk mencari popcorn, ingin mencari inspirasi
bisnis dan juga menikmati malam di tengah keramaian. Karena saat baru keluar
dari BPI gerimis turun maka saya banting setir ke buds coffe.
Malam ini langit di liputi mendung, aku dan
secangkir kopi sudah nyaman berdekapan. Temenku yang sibuk dengan bbm nya
mendapati info bahwa di TBRS sedang berlangsung pagelaran seni tari, sontak dia
mengajakku untuk segera bergegas ke sana.
Gerimis di perjalanan tak membuatku
merasa terganggu, mungkin karena aku juga penyuka seni. Sesampainya di TBRS,
sudah berderet motor di depan gedung. Aku masuk lewat pintu depan, daftar
absensi yang mau aku isi tidak jadi. Aku masuk mengambil posisi duduk di lantai
dua.
Ternyata pagelaran seni tari, aku
mencoba menikmati meski saat awal merasa
tidak nyaman. Ruanganya pengap, terlihat tidak ada fentilasi yang memadai.
Seharusnya gedung se besar itu kalau fentilasinya tidak memadai setidaknya ada
ac.
Baru setelah para cewek yang
berdandan khas jawa muncul dan menari mataku melek, mencoba menikmati raut
wajah muda yang berbalut busana khas jawa. Sungguh cantik, batinku tapi busana
itu hanya wajar di pakai ketika tampil dalam pertunjukan kesenian. Aku tidak
mendapati ada cewek yang pada hari biyasa memakai busana tersebut.
Mungkin busana tersebut di anggap
tidak islami karna tidak menutupi aurot. Meski definisi aurot itu multi tafsir,
artinya boleh dikata bahwa aurot orang jawa, ya seperti busana yang menjadi
cerminan sebuah adat jawa sendiri. Bukan melebur dalam ketentuan budaya Arab
sebagai pusat islam tempo dulu, atau fikih klasik.
Intinya, saya ingin mengatakan
bahwa busana jawa memang bagus, punya nilai estetika yang tinggi dan enak di
pandang. Terlepas dari ketidak selarasan dengan busana islami, saya rasa masih
banyak para pecinta adat menjaga busana adi luhung milik kita bersama tersebut.
Kembali ke pementasan, aku tidak
tahu mengenai judul dan tema yang di angkat pada pagelaran seni tari malam itu,
tapi aku menikmati. Yang saya tahu, melihat dari adegan tari dan busana yang di
pakai penari, menunjukkan adat jawa dan colonial. Terlihat jelas dalam tarian
itu ada semacam pertentangan antara orang pribumi yang di gambarkan di pimpin
oleh seorang raja berhasil mengalahkan colonial.
Karena aku datang terlambat, membuatku merasa pertunjukanya Cuma sebentar. Setelah
tampil para peserta berfoto bersama lalu pada sibuk selfi dengan kerabatnya
masing-masing. Tak mau ketinggalan, temanku juga ikut foto bareng salah satu
peserta tari. Terlihat cerah raut wajah temanku ketika si penari mau di ajak
foto bareng, memang sebuah kebanggan tersendiri bisa foto dengan penari yang
berbusana adat, perasaanku.
Di tengah pertunjukkan sebenarnya
ada hal yang membuatku mengingat masa lalu. Ada foto ki Narto Sabdo yang
terpampang di sebelah kanan panggung. Itu membuatku mengingat ke dua simbahku,
yang saya ingat nama Ki Narto Sabdo adalah termasuk deretan dalang yang pernah
di sebut simbahku. Simbahku pernah berkata padaku bahwa Ki Narto Sabdo dan Ki
Anom Suroto merupakan sosok dalang yang
dia sukai.
Aku ingat betul setiap malam sebelum
tidur, simbah selalu mendengarkan wayang
semalam suntuk. Selain sering di ceritakan masa lalu simbahku, cerita
pewayangan juga menjadi bahan ceramah simbahku dalam setiap menasehatiku.
Memandang foto Ki Narto yang
terpampang tersebut juga membuatku bertanya seberapa hebatkah kemampuan Ki
Narto? Sampai simbahku bisa di bilang ngefans padanya. Yang pasti wayang selain
sebagai kesenian masyarakat juga sebagai salah satu metode dakwah. Di dalam
pementasan wayang pasti ada pesan moral adi luhung yang di sampaikan dan itu
mampu menjaga masyarakat pada waktu itu untuk menghasilkan sebuah adat
kebiasaan yang seimbang.
Seimbang antara hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan tuhanya dan manusia dengan alam semesta. Jangan heran
ketika melihat orang jawa yang dulu umurnya panjang-panjang, fisiknya kuat-kuat
itu saya rasa karna orang jawa dahulu mampu memaknai hidup dengan baik dan
salah satu jalan pembelajaran memaknai
hidup tersebut adalah melalui pagelaran wayang.
Setelah penampilan selesai aku
keluar, menunggu hujan reda. Saat hujan sudah mulai agak berkurang aku
menerobos. Sesampainya di Karang ayu terlihat di sepanjang jalan dan di kanan
kiri bagunan ruko lampunya pada mati. Sampai di Ngaliyan ternyata juga mati.
Aku heran pada teman sekelasku yang
edan sama game coc. Beberapa hari ini dia tak pernah beranjak dari kamar
tidurku hanya menghadapi hp untuk main coc. Sampai lampu matipun dia masih
main, hp nya di cas pada netbook yang kebetulan masih menyala.
Tidur…….!