Kamis, 05 November 2015

makalah Pendidikan Anak



PENDIDIKAN ANAK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Dr. H. Sya’roni, M. Ag

Disusun oleh:
Abdur Rouf                                                    (134211135)
Aulia Miftahul Azmi                                       (134211136)
Bidayatun Nafiah                                           (134211138)
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADIST
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dengan pendidikan ataupun pengajaran baik dalam keadaan formal maupun non-formal, adanya pendidikan dan pengajaran seseorang dapat mengetahui berbagai macam ilmu. Pencapaian ilmu atau pencarian ilmu diwajibkan kepada semua muslim dan muslimah, pada salah satu sabda Rasulullah yang selalu dilontarkan untuk mengajak dalam menuntut ilmu yakni:
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
Menuntut ilmu hukumnya fardlu bagi setiap muslim dan muslimah”
Dalam dunia pendidikan, pengajaran lebih baik dimulai seseorang sejak dini. Kemudahan pencernaan ilmu (pendidikan) terhadap seorang anak kecil dikarenakan belum atau kurang tahunya tentang sesuatu. Seorang anak dapat menerima semua apa yang didapatnya, hanya orang tuanyalah yang dapat menyaring semua pengetahuan tersebut. Keaktifan orang tua sangat dibutuhkan dalam setiap hal dalam mendidik anaknya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Arti Pendidikan
1. Kedudukan Seorang Anak Yang Dilahirkan
2. Perbuatan Orang Tua Yang Harus Dilakukan Terhadap Anaknya Yang Baru Lahir
3. Kewajiban Orang Tua Dalam Mendidik Anaknya

BAB II
PEMBAHASAN

A. ARTI PENDIDIKAN
Pendidikan dalam dunia Islam sering disebut dengan tarbiyyah, tarbib, dan tadris. Kata tarbiyyah berasal dari kata raba yarbu yang berarti bertambah, baik dan naik, adapaun asal kata lain yaitu rabba yurabbi yang berarti mengasuh dan mendidik. Dan kata tarbib berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti menjaga, menagasuh, mendidik dan membaikkan. Sedangkan kata tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu yang berarti menjadikannya belajar, adapun asal kata lain yaitu darasa yadrusu yang mempunyai arti mempelajari.
Pendidikan dalam arti luas yakni satu proses mengajar dan belajar yang bertimbal balik dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan, dan kedudukan pendidikan sebagai satu proses membentuk yang mengambil masa untuk mendapatkan hasil.  Ada juga yang mendefinisikan arti pendidikan dengan proses mengasuh dan mendidik, membentuk sikap belajar selain membiasakan proses memberi pelajaran dan mengajari sesuatu yang baru.[1]
Dalam sebuah buku tentang pendidikan menerangkan arti pendidikan tersebut dengan, segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dirasakan dari perbuatan-perbuatan atau suara-suara didalam suatu lingkungan dan keadaan.[2]
B. KEDUDUKAN SEORANG ANAK YANG DILAHIRKAN
Kelahiran anak adalah suatu yang sangat diimpikan oleh seorang sepasang kekasih yang sudah menjalani penikahan atau yang sering disebut dengan suami istri. Hadits Bukhari nomor 1358 dalam Fathul Baari telah menerangkan bagaimanakah keadaan seorang anak yang dilahirkan? Hadits tersebut berbunyi:
عنْ شعيْب قال ابْن شهابٍ: يصلّى على كلّ موْلوْدٍ متوفّى و إنْ كان لغيّةٍ منْ أجْل أنّه ولد على فطْرةِ الإ سلامِ يدّعي أبواه الإسلامَ أوْ أبوْه خاصّة و إنْ كانتْ أمّه على غيْر الإسلام إذا اسْتهلّ صارخًا صلّي عليه و لا يصلّى على منْ لا يسْتهلّ منْ أجل أنّه سقْط, فإنّ أبا هريرة رضي الله عنْه كان يحدّث قال النّبيّ صلّى الله عليه  سلّم: ما منْ مولوْد إلاّ يوْلد على الفطْرة فأبواه يهوّدانه أوْ ينصّرانه أوْ يمجّسانه كما تنْتج البهيْمةُ بهيْمةً جمعاء, هلْ تحسّوْن فيها منْ جدعاء؟ ثمّ يقول أبو هريْرة رضي الله عنْه: (فطرة الله الّتي فطر النّاس عليْها) الآية (الروم: 30)                          
1358. Dari Syu’aib, dia berkata, “Ibnu Syihab berkata bahwa setiap anak yang meninggal dunia dishalati meskipun hasil zina, hal itu karena ia dilahirkan dalam fitrah Islam, kedua orang tuanya mengaku beragama Islam, atau bapaknya saja meski ibunya memeluk agama selain Islam. Apabila ia lahir dengan mengeluarkan suara maka ia dishalati. Adapaun bial tidak mengeluarkan suara, maka tidak dishalati sebab ia dianggap sebagai janin gugur. Karena sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda `Tidak ada seorang anak yang lahir melainkan dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana hewan menghasilkan hewan yang sempurna, apakah kalian mendapatkan adanya kekurangan [cacat]?` Kemudian Abu Hurairah RA berkata, `Fitrah Allah yang Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah itu`.” (QS. Ar-Ruum (30): 30)[3]
لغيّةٍ  (dari hasil zina), maksudnya anak-anak hasil zina tetap dishalati apabila meninggal. Statusnya anak zina tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap dishalati, sebab ia dianggap sebagai muslim karena mengikuti status ibunya. Demikian pula halnya anak bapaknya seorang muslim namun ibunya bukan muslimah. Ibnu Abdul Barr berkata: Tidak ada seorang pun mengatakan bahwa anak hasil zina tidak dishalati, kecuali Qatadah”.
Para ulama berbeda pendapat tentang hal diatas tentang hukum menshalati anak kecil. Sa’id bin Jabr berkata: “Anak kecil tidak dishalati hingga ia baligh”. Ada pula yang mengatakan: “Hingga ia shalat”. Sementara jumhur ulama mengatakan: “Anak kecil dishalati apabila lahir dengan mengeluarkan suara”.
Kalimat “Setiap anak yang lahir”, menjelaskan dengan mencakup juga dengan janin yang gugur. Oleh sebab itu, beliau membatasi dengan perkataan, “apabila ia lahir dengan mengeluarkan suara”, sebagaima pendapat Imam Zuhri yang menamakan laki-laki yang berzina sebagai bapak dari anak hasil perbuatan zinanya, lalu anak itu diikutkan pada statusnya sebagai muslim. Imam Malik juga sependapat dengan pernyataan tersebut.[4]
C. PERBUATAN ORANG TUA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP ANAKNYA YANG BARU LAHIR
Sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih sunan At- Tirmidzi nomor 1522 menerangkan apa yang harus dilakukan orang tua saat anaknya baru lahir? hadits tersebut berbunyi:
حدّثنا عليّ بْن حجْرٍ, أخْبرنا عليّ بْن مسْهرٍ, عنْ إسماعيل بْن مسلمٍ, عن الحسن, عنْ سمرة, قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: الغلام مرْتهنٌ بعقيقته, و يسمّى و يخلق رأْسه                        
1522. Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ali bin Mushir mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Muslim, dari Hasan dari Samurah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihnya atas namanya pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya, diberinama dan dicukur rambut kepalanya”.[5]
Hasan bin Ali Al Khallal menceritakan kepada kami, Yazid bin Harun menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abu Arubah mengabarkan kepada kami dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah bin Jundab, dari Rasulullah SAW,... seperti hadits diatas. Abu Isa mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hasan shahih. Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam shahihnya nomor 3165.
Para ulama mengamalkan hadits tersebut, mereka sangat menganjurkan penyembelihan kambing aqiqah pada hari ke-7, namun apabila tidak bisa, maka dianjurkan untuk melaksanakannya pada hari ke-14. Jika tidak bisa juga, maka dianjurkan untuk melaksanakannya pada hari ke-21. Mereka juga mengatakan, “Kambing yang mencukupi untuk aqiqah adalah kambing yang mencukupi untuk  kurban”.[6]
Seperti pernyataan diatas bahwa hewan aqiqah yang akan disembelih, baik dari segi jenis, umur, dan sifat- sifatnya harus terbebas dari cacat, tidak berbeda dengan hewan untuk berkurban. Jenis hewan yang akan diaqiqahkan adalah unta, sapi, dan domba. Namun menurut satu pendapat, tidak boleh beraqiqah dengan unta dan sapi.
Dalam masalah jumlah para madzhab berbeda pundapat, menurut madzhab Maliki jumlah hewan aqiqah itu adalah satu ekor, baik yang lahir anak laki-laki maupun anak perempuan. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali jumlah hewan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor dan untuk perempuan satu ekor.
Aqiqah hendaknya dilakukan setiap kali mempunyai anak. Sunnah aqiqah terpenuhi dengan menyembelih seekor domba untuk kelahiran anak laki-laki, dan seekor domba untuk kelahiran anak perempuan. Hal tersebut berdasarkan atas perbuatan Rasulullah SAW ketika kelahiran Hasan dan Husein. Apabila seseorang dikaruniai anak kembar, maka hendaknya melakukan dua kali aqiqah dan tidak cukup sekali saja.[7]
D. KEWAJIBAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAKNYA
Peran orang tua sangatlah penting dalam mendidik anaknya, salah satu dari program pendidkan adalah mendidiknya untuk melaksanakan shalat. Shalat sangat diwajibkan bagi umat beragama Islam, karena shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab shahihnya nomor 495 yang berbunyi:
عنْ عبْد الله بْن عمرو بْن العاص قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم مروْا أولادكمْ بالصّلاة و همْ أبْناء سبْع سنين و اضْربوهمْ عليها وهمْ أبْناء عشْرٍ و فرّقوا بيْنهمْ في المضاجع.              
 495. Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka kalau meninggalkannya, sedang mereka berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah di antara mereka itu dari tempat tidurnya”. (Hasan Shahih)[8]
Pada hadits diatas dijelaskan mengenai teknis mwngajarkan shalat, yakni suruhlah anak kalian mengerjakan shalat secara lebih serius (sungguh-sungguh dan rutin) ketika mereka berumur tujuh tahun, dan ketika mereka sudah mencapai umur sepuluh tahun apabila meninggalkan shalat, maka orang tua boleh memukulnya. Dimaksud memukul disini adalah unutk menyadarkan mereka, bukan untuk menyakiti. Karena sebab itu janganlah sampai pukulan membuat cidera melainkan unutk menyadarkan mereka, lebih baik lagi apabila tanpa pukulan. Jika dengan suruhan sudah dapat untuk menyadarkan, janganlah disertai pukulan. Pukulan adalah pilihan terakhir apabila dengan ucapan dan teguran sudah tidak bisa untuk menyadarkan.
Dalam sabda Rasulullah SAW diatas yang berbunyi: “.... sedang mereka berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah di antara mereka itu dari tempat tidurnya
Dari hadits diatas dijelaskan ketika anak berumur sepuluh tahun harus dipisahkan tempat tidurnya, terutama anak laki-laki dan anak perempuan. Pemisahan tempat tidur agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya: melihat aurat orang tuanya atau saudara-saudaranya sehingga menimbulkan keinginan yang dilarang oleh agama. Pengertian memisahkan tempat tidur yang dimaksud adalah, a) memisahkan tempat tidur anak (baik laki-laki ataupun perempuan) dari tempat tidur/ kamar orang tua ketika anak sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk yaitu ketika anak berumur sekitar tiga atau empat tahun, b) memisahkan tempat tidur anak berdasarkan jenis kelaminnya masing-masing. Lebih baik lagi, apabila orang tua mampu, tiap anak memiliki kamar tidur sendiri-sendiri.[9]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendidikan adalah proses pembentukan diri untuk mengetahui atau memahami tentang suatu yang baru, dan pendidikan adalah segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dirasakan.
Setiap anak yang dilahirkan didunia ini bersifat suci, dan apabila anak tersebut meninggal maka dishalati walaupun ada beberapa pendapat dishalati apabila anak tersebut sudah mengeluarkan suara dan adapula yang berpendapat menshalatinya apabial sudah baligh.
Anak yang baru lahir disunnahkan untuk menyembelih hewan untuk aqiqah, hewan tersebut diantaranya kambing, sapi atau unta. Dan untuk jumlahnya dua ekor untuk laki-laki dan seekor untuk perempuan, ada juga yang berpendpat seekor untuk laki-laki dan seekor untuk perempuan, tujuan utama dari aqiqah adalah untuk bershadaqah. Saat beraqiqah ketika anak tersebut berumur tujuh, empat belas, dan dua puluh satu dari hari kelahirannya, adapula yang berpendapat saat anak baligh.
Ketika anak sudah berumur sepuluh tahun maka diwajibkan untuk shalat dan apabila anak tersebut tidak mau untuk menjalankan maka pukullah, memukul bukan berarti menganiaya dan memukul pasti sifatnya sakit, memukul tersebut bertujuan untuk memperingati apabila sudah sadar maka diharamkan untuk memukul. Dan ketika anak tersebut berumur sepuluh tahun maka pisahkan anak tersebut dari kamar orang tuanya atau beriakn kamar untuk anak tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Pustaka Azzam,     Jakarta, 2007
-----------; Shahih Sunan At- Tirmidzi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006
Az- Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4, Gema Insani, Jakarta, 2011
Budiman, Agus, Ushul at- Tarbiyah Wa at- Ta’lim, Darussalam Press, Ponorogo,               2007
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari,        Pustaka Azzam, Jakarta, 2008
Jasmi, Kamarul Azmi, Pendidikan Islam: Kaedah Pengajaran dan Pembelajaran, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Darul Ta’zim (Malaysia), 2007


[1] Kamarul Azmi Jasmi, Pendidikan Islam: Kaedah Pengajaran dan Pembelajaran, Johor Darul Ta’zim (Malaysia): Universiti Teknologi Malaysia, 2007, hlm. 1-4
[2] Agus Budiman, M. Pd, Ushul at- Tarbiyah Wa at- Ta’lim, Ponorogo: Darussalam Press, 2007, hlm. 6-7
[3] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 342
[4] Ibid., (bab. Apabila Anak Kecil Masuk Islam Lalu Meninggal Dunia, Apakah Harus Dishalati, Apakah Islam Ditawarkan Kepada Anak Kecil), (Kitab Jenazah), hlm. 349
[5] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At- Tirmidzi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, hlm. 245
[6] Ibid., (bab. Aqiqah dalam kitab kurban)
[7] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 296-297
[8] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, (bab.  Kapan Anak-anak Mulai Diperintahkan Shalat? Dalam kitab Shalat), hlm. 198
[9] Drs. Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, hlm. 92-94

0 komentar:

Posting Komentar