PENDIDIKAN
ANAK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Hadits
Dosen Pengampu: Dr. H. Sya’roni, M. Ag
Disusun
oleh:
Abdur Rouf (134211135)
Aulia Miftahul Azmi
(134211136)
Bidayatun Nafiah
(134211138)
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
TAFSIR HADIST
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan
manusia tidak akan pernah terlepas dengan pendidikan ataupun pengajaran baik
dalam keadaan formal maupun non-formal, adanya pendidikan dan pengajaran seseorang
dapat mengetahui berbagai macam ilmu. Pencapaian ilmu atau pencarian ilmu
diwajibkan kepada semua muslim dan muslimah, pada salah satu sabda Rasulullah
yang selalu dilontarkan untuk mengajak dalam menuntut ilmu yakni:
طلب العلم
فريضة على كل مسلم و مسلمة
“Menuntut ilmu hukumnya fardlu bagi setiap
muslim dan muslimah”
Dalam dunia
pendidikan, pengajaran lebih baik dimulai seseorang sejak dini. Kemudahan
pencernaan ilmu (pendidikan) terhadap seorang anak kecil dikarenakan belum atau
kurang tahunya tentang sesuatu. Seorang anak dapat menerima semua apa yang
didapatnya, hanya orang tuanyalah yang dapat menyaring semua pengetahuan
tersebut. Keaktifan orang tua sangat dibutuhkan dalam setiap hal dalam mendidik
anaknya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Arti Pendidikan
1. Kedudukan
Seorang Anak Yang Dilahirkan
2. Perbuatan
Orang Tua Yang Harus Dilakukan Terhadap Anaknya Yang Baru Lahir
3. Kewajiban
Orang Tua Dalam Mendidik Anaknya
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI
PENDIDIKAN
Pendidikan
dalam dunia Islam sering disebut dengan tarbiyyah, tarbib, dan tadris.
Kata tarbiyyah berasal dari kata raba yarbu yang berarti
bertambah, baik dan naik, adapaun asal kata lain yaitu rabba yurabbi
yang berarti mengasuh dan mendidik. Dan kata tarbib berasal dari kata rabba
yarubbu yang berarti menjaga, menagasuh, mendidik dan membaikkan. Sedangkan
kata tadris berasal dari kata darrasa yudarrisu yang berarti
menjadikannya belajar, adapun asal kata lain yaitu darasa yadrusu yang
mempunyai arti mempelajari.
Pendidikan
dalam arti luas yakni satu proses mengajar dan belajar yang bertimbal balik
dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan, dan kedudukan pendidikan sebagai
satu proses membentuk yang mengambil masa untuk mendapatkan hasil. Ada juga yang mendefinisikan arti pendidikan
dengan proses mengasuh dan mendidik, membentuk sikap belajar selain membiasakan
proses memberi pelajaran dan mengajari sesuatu yang baru.[1]
Dalam
sebuah buku tentang pendidikan menerangkan arti pendidikan tersebut dengan,
segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dirasakan dari perbuatan-perbuatan
atau suara-suara didalam suatu lingkungan dan keadaan.[2]
B. KEDUDUKAN
SEORANG ANAK YANG DILAHIRKAN
Kelahiran
anak adalah suatu yang sangat diimpikan oleh seorang sepasang kekasih yang
sudah menjalani penikahan atau yang sering disebut dengan suami istri. Hadits
Bukhari nomor 1358 dalam Fathul Baari telah menerangkan bagaimanakah keadaan
seorang anak yang dilahirkan? Hadits tersebut berbunyi:
عنْ شعيْب
قال ابْن شهابٍ: يصلّى على كلّ موْلوْدٍ متوفّى و إنْ كان لغيّةٍ منْ أجْل أنّه
ولد على فطْرةِ الإ سلامِ يدّعي أبواه الإسلامَ أوْ أبوْه خاصّة و إنْ كانتْ أمّه
على غيْر الإسلام إذا اسْتهلّ صارخًا صلّي عليه و لا يصلّى على منْ لا يسْتهلّ منْ
أجل أنّه سقْط, فإنّ أبا هريرة رضي الله عنْه كان يحدّث قال النّبيّ صلّى الله
عليه سلّم: ما منْ مولوْد إلاّ يوْلد على
الفطْرة فأبواه يهوّدانه أوْ ينصّرانه أوْ يمجّسانه كما تنْتج البهيْمةُ بهيْمةً
جمعاء, هلْ تحسّوْن فيها منْ جدعاء؟ ثمّ يقول أبو هريْرة رضي الله عنْه: (فطرة
الله الّتي فطر النّاس عليْها) الآية (الروم: 30)
1358. Dari Syu’aib, dia berkata, “Ibnu Syihab berkata bahwa setiap anak yang
meninggal dunia dishalati meskipun hasil zina, hal itu karena ia dilahirkan
dalam fitrah Islam, kedua orang tuanya mengaku beragama Islam, atau bapaknya
saja meski ibunya memeluk agama selain Islam. Apabila ia lahir dengan
mengeluarkan suara maka ia dishalati. Adapaun bial tidak mengeluarkan suara,
maka tidak dishalati sebab ia dianggap sebagai janin gugur. Karena sesungguhnya
Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda `Tidak ada seorang anak
yang lahir melainkan dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana hewan menghasilkan
hewan yang sempurna, apakah kalian mendapatkan adanya kekurangan [cacat]?` Kemudian
Abu Hurairah RA berkata, `Fitrah Allah yang Allah telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu`.” (QS. Ar-Ruum (30): 30)[3]
لغيّةٍ (dari
hasil zina), maksudnya anak-anak hasil zina tetap dishalati apabila
meninggal. Statusnya anak zina tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap
dishalati, sebab ia dianggap sebagai muslim karena mengikuti status ibunya.
Demikian pula halnya anak bapaknya seorang muslim namun ibunya bukan muslimah.
Ibnu Abdul Barr berkata: Tidak ada seorang pun mengatakan bahwa anak hasil zina
tidak dishalati, kecuali Qatadah”.
Para ulama
berbeda pendapat tentang hal diatas tentang hukum menshalati anak kecil. Sa’id
bin Jabr berkata: “Anak kecil tidak dishalati hingga ia baligh”. Ada pula yang
mengatakan: “Hingga ia shalat”. Sementara jumhur ulama mengatakan: “Anak kecil
dishalati apabila lahir dengan mengeluarkan suara”.
Kalimat “Setiap
anak yang lahir”, menjelaskan dengan mencakup juga dengan janin yang gugur.
Oleh sebab itu, beliau membatasi dengan perkataan, “apabila ia lahir dengan
mengeluarkan suara”, sebagaima pendapat Imam Zuhri yang menamakan laki-laki
yang berzina sebagai bapak dari anak hasil perbuatan zinanya, lalu anak itu
diikutkan pada statusnya sebagai muslim. Imam Malik juga sependapat dengan
pernyataan tersebut.[4]
C. PERBUATAN
ORANG TUA YANG HARUS DILAKUKAN TERHADAP ANAKNYA YANG BARU LAHIR
Sabda
Rasulullah SAW dalam hadits shahih sunan At- Tirmidzi nomor 1522 menerangkan
apa yang harus dilakukan orang tua saat anaknya baru lahir? hadits tersebut
berbunyi:
حدّثنا عليّ
بْن حجْرٍ, أخْبرنا عليّ بْن مسْهرٍ, عنْ إسماعيل بْن مسلمٍ, عن الحسن, عنْ سمرة,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: الغلام مرْتهنٌ بعقيقته, و يسمّى و يخلق
رأْسه
1522. Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ali bin Mushir mengabarkan kepada
kami dari Ismail bin Muslim, dari Hasan dari Samurah, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “Seorang anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihnya
atas namanya pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya, diberinama dan dicukur
rambut kepalanya”.[5]
Hasan bin
Ali Al Khallal menceritakan kepada kami, Yazid bin Harun menceritakan kepada
kami, Sa’id bin Abu Arubah mengabarkan kepada kami dari Qatadah, dari Hasan,
dari Samurah bin Jundab, dari Rasulullah SAW,... seperti hadits diatas. Abu Isa
mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hasan shahih. Hadits diatas juga
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam shahihnya nomor 3165.
Para ulama
mengamalkan hadits tersebut, mereka sangat menganjurkan penyembelihan kambing
aqiqah pada hari ke-7, namun apabila tidak bisa, maka dianjurkan untuk
melaksanakannya pada hari ke-14. Jika tidak bisa juga, maka dianjurkan untuk
melaksanakannya pada hari ke-21. Mereka juga mengatakan, “Kambing yang
mencukupi untuk aqiqah adalah kambing yang mencukupi untuk kurban”.[6]
Seperti pernyataan
diatas bahwa hewan aqiqah yang akan disembelih, baik dari segi jenis, umur, dan
sifat- sifatnya harus terbebas dari cacat, tidak berbeda dengan hewan untuk
berkurban. Jenis hewan yang akan diaqiqahkan adalah unta, sapi, dan domba.
Namun menurut satu pendapat, tidak boleh beraqiqah dengan unta dan sapi.
Dalam
masalah jumlah para madzhab berbeda pundapat, menurut madzhab Maliki jumlah
hewan aqiqah itu adalah satu ekor, baik yang lahir anak laki-laki maupun anak
perempuan. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali jumlah hewan aqiqah
untuk anak laki-laki dua ekor dan untuk perempuan satu ekor.
Aqiqah
hendaknya dilakukan setiap kali mempunyai anak. Sunnah aqiqah terpenuhi dengan
menyembelih seekor domba untuk kelahiran anak laki-laki, dan seekor domba untuk
kelahiran anak perempuan. Hal tersebut berdasarkan atas perbuatan Rasulullah
SAW ketika kelahiran Hasan dan Husein. Apabila seseorang dikaruniai anak
kembar, maka hendaknya melakukan dua kali aqiqah dan tidak cukup sekali saja.[7]
D. KEWAJIBAN
ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAKNYA
Peran orang
tua sangatlah penting dalam mendidik anaknya, salah satu dari program pendidkan
adalah mendidiknya untuk melaksanakan shalat. Shalat sangat diwajibkan bagi
umat beragama Islam, karena shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat.
Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab shahihnya
nomor 495 yang berbunyi:
عنْ عبْد
الله بْن عمرو بْن العاص قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم مروْا أولادكمْ
بالصّلاة و همْ أبْناء سبْع سنين و اضْربوهمْ عليها وهمْ أبْناء عشْرٍ و فرّقوا
بيْنهمْ في المضاجع.
495. Dari
Abdullah bin Amr bin Ash RA, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah
kepada anak-anakmu shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah
mereka kalau meninggalkannya, sedang mereka berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah
di antara mereka itu dari tempat tidurnya”. (Hasan Shahih)[8]
Pada hadits
diatas dijelaskan mengenai teknis mwngajarkan shalat, yakni suruhlah anak
kalian mengerjakan shalat secara lebih serius (sungguh-sungguh dan rutin)
ketika mereka berumur tujuh tahun, dan ketika mereka sudah mencapai umur
sepuluh tahun apabila meninggalkan shalat, maka orang tua boleh memukulnya.
Dimaksud memukul disini adalah unutk menyadarkan mereka, bukan untuk menyakiti.
Karena sebab itu janganlah sampai pukulan membuat cidera melainkan unutk
menyadarkan mereka, lebih baik lagi apabila tanpa pukulan. Jika dengan suruhan
sudah dapat untuk menyadarkan, janganlah disertai pukulan. Pukulan adalah
pilihan terakhir apabila dengan ucapan dan teguran sudah tidak bisa untuk
menyadarkan.
Dalam sabda
Rasulullah SAW diatas yang berbunyi: “.... sedang mereka berumur sepuluh
tahun. Dan pisahlah di antara mereka itu dari tempat tidurnya”
Dari hadits diatas
dijelaskan ketika anak berumur sepuluh tahun harus dipisahkan tempat tidurnya,
terutama anak laki-laki dan anak perempuan. Pemisahan tempat tidur agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya: melihat aurat orang tuanya
atau saudara-saudaranya sehingga menimbulkan keinginan yang dilarang oleh
agama. Pengertian memisahkan tempat tidur yang dimaksud adalah, a) memisahkan
tempat tidur anak (baik laki-laki ataupun perempuan) dari tempat tidur/ kamar
orang tua ketika anak sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk yaitu
ketika anak berumur sekitar tiga atau empat tahun, b) memisahkan tempat tidur
anak berdasarkan jenis kelaminnya masing-masing. Lebih baik lagi, apabila orang
tua mampu, tiap anak memiliki kamar tidur sendiri-sendiri.[9]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan
adalah proses pembentukan diri untuk mengetahui atau memahami tentang suatu
yang baru, dan pendidikan adalah segala sesuatu yang dilihat, didengar dan
dirasakan.
Setiap anak
yang dilahirkan didunia ini bersifat suci, dan apabila anak tersebut meninggal
maka dishalati walaupun ada beberapa pendapat dishalati apabila anak tersebut
sudah mengeluarkan suara dan adapula yang berpendapat menshalatinya apabial
sudah baligh.
Anak yang
baru lahir disunnahkan untuk menyembelih hewan untuk aqiqah, hewan tersebut
diantaranya kambing, sapi atau unta. Dan untuk jumlahnya dua ekor untuk
laki-laki dan seekor untuk perempuan, ada juga yang berpendpat seekor untuk
laki-laki dan seekor untuk perempuan, tujuan utama dari aqiqah adalah untuk
bershadaqah. Saat beraqiqah ketika anak tersebut berumur tujuh, empat belas,
dan dua puluh satu dari hari kelahirannya, adapula yang berpendapat saat anak
baligh.
Ketika anak
sudah berumur sepuluh tahun maka diwajibkan untuk shalat dan apabila anak
tersebut tidak mau untuk menjalankan maka pukullah, memukul bukan berarti
menganiaya dan memukul pasti sifatnya sakit, memukul tersebut bertujuan untuk
memperingati apabila sudah sadar maka diharamkan untuk memukul. Dan ketika anak
tersebut berumur sepuluh tahun maka pisahkan anak tersebut dari kamar orang
tuanya atau beriakn kamar untuk anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al Albani, Muhammad
Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007
-----------; Shahih Sunan
At- Tirmidzi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006
Az- Zuhaili, Wahbah, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu 4, Gema Insani, Jakarta, 2011
Budiman, Agus, Ushul at-
Tarbiyah Wa at- Ta’lim, Darussalam Press, Ponorogo, 2007
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al
Imam Al Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Pustaka Azzam, Jakarta, 2008
Jasmi, Kamarul Azmi, Pendidikan
Islam: Kaedah Pengajaran dan Pembelajaran, Universiti
Teknologi Malaysia, Johor Darul Ta’zim (Malaysia), 2007
[1]
Kamarul Azmi Jasmi, Pendidikan Islam:
Kaedah Pengajaran dan Pembelajaran, Johor Darul Ta’zim (Malaysia):
Universiti Teknologi Malaysia, 2007, hlm. 1-4
[2]
Agus Budiman, M. Pd, Ushul at-
Tarbiyah Wa at- Ta’lim, Ponorogo: Darussalam Press, 2007, hlm. 6-7
[3] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul
Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 342
[4] Ibid., (bab. Apabila Anak Kecil Masuk Islam
Lalu Meninggal Dunia, Apakah Harus Dishalati, Apakah Islam Ditawarkan Kepada
Anak Kecil), (Kitab Jenazah), hlm. 349
[5] Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At- Tirmidzi, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006, hlm. 245
[6]
Ibid.,
(bab. Aqiqah dalam kitab kurban)
[7] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu 4, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 296-297
[8] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan
Abu Daud, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, (bab. Kapan Anak-anak Mulai Diperintahkan Shalat?
Dalam kitab Shalat), hlm. 198
[9] Drs. Heri
Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005,
hlm. 92-94
0 komentar:
Posting Komentar