BOY 180 DERAJAT
Pernahkah kamu merasa berat ketika di
hadapkan suatu tanggung jawab. Pastinya pernah, apalagi jika tanggung jawab itu
tidak sesuai bidang yang kamu sukai, apalagi jika ada kepentingan lain yang
mendesak untuk kamu laksanakan demi bertahan hidup. Tetapi yang namanya
tanggung jawab haruslah di laksanakan.
Setiap ke kampus, aku melihat
anak-anak melakukan hal yang sama. Berkumpul di meja bundar untuk bercanda, ada juga yang sibuk
internetan. Di depan Pusat Kegiatan Mahasiswa juga begitu, banyak anak kongkow
hanya untuk sekedar bercanda. Di depan perpus terlihat deretan mahasiswa
mengobrol, di dalam perpus banyak yang sibuk mencari buku untuk di buat
referensi tugas makalah.
Seolah itu seperti siklus yang tak henti, tak ada sesuatu yang
baru. Mungkin hanya gedung baru dan parkiran motor yang di pindah dari depan
gedung F dan gedung E ke PKM, samping gedung E dan parkiran belakang kantor lama. Pemindahan
tersebut seperti memindahkan barang yang sama tanpa ada perbaikan yang cukup signifikan untuk merubah budaya tertib berparkir.
Parkiran belakang kantor lama sekarang terlihat motor yang
berjubel, berserakan, berantakan. Bahkan, jika mau mengambil motor yang
terselip di deretan motor yang parkir sembarangan, maka harus meminta bantuan
teman agar bisa menyingkirkan supaya dapat jalan keluar. Yang bikin jengkel
lagi jika ada motor parkir sembarangan tapi di kunci setang, ingin rasanya aku membakarnya.
Di depan PKM juga tak jauh beda, meski di kasih garis-garis
pembatas parkir tapi nyatanya masih saja ada yang parkir sembarangan. Mungkin
karna jumlah mahasiswa yang semakin banyak otomatis jumlah motor juga mbludak,
sedang luas parkir tetap.
Sebenarnya tulisan ini tidak di maksudkan membahas parkiran,
biarkan itu menjadi urusan pejabat mahasiswa dan birokrasi untuk mengajak
mahasiswa ikut bertanggung jawab atas problem parkir tersebut. Tulisan ini
ingin menceritakan si Boy yang tampak beda menurut penglihatan saya.
Boy, temanku yang satu ini berhasil merubah hidupnya hingga
hampir seratus delapan puluh derajat menjadi dirinya yang sekarang. Tidak
pernah ku bayangkan, Boy yang dulu hidup di jalanan, jarang makan, pakaian
compang-camping, sering berkhayal bersamaku kini sudah bekerja dan membatu
menafkahi keluarganya seperti halnya kepala keluarga.
Semua karena kegigihanya bekerja, dari pagi jam delapan
sampai malam jam Sembilan, dia sibuk menjaga warung ikan hias. Dia sudah
menjadi tangan kanan bosnya, sampai-sampai di bukakan cabang warung ikan hias
baru di pinggiran kota. Beberapa kali aku mengirim sms kepada Boy untuk
menyempatkan mampir di kos ku agar bisa saling cerita.
Aku yang merasa tak banyak berubah, ingin belajar dari Boy,
yang berhasil menekuni pekerjaan hingga bisa membantu menafkahi keluarga. Kita
sama-sama dari kampung, sama-sama merantau ke kota, tapi saat ini yang menjadi
pembeda adalah pola pikir kita dan isi dompet.
“Boy, mampir main ke kosku lah. Jangan sibuk bekerja terus.”
sms ku.
“iya Bud, nanti kalau
malam minggu aku sempatkan main ke kosmu.” jawab si Boy.
Melihat jawaban sms
Boy yang mau manyempatkan main ke kosku malam minggu besok, aku mulai menepis
agenda yang sudah ada maupun yang akan di rencanakan. Sebetulnya di malam
minggu besok aku ada agenda mertamu ke salah satu acara besar Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan, tapi aku batalakan saja untuk bertemu si Boy.
“boy, kamu ke sini jam berapa?.” Tanyaku di sms.
“jam delapan brooo, tunggu ya.” Jawab si Boy.
“ok bos.”
Mungkin ini sudah memasuki musim hujan, langit kota terlihat
menghitam. Mulai azan mahrib, turun hujan lebat di sekitar kosku. Perasaanku,
hujan lebat ini tidak mungkin hanya di sekitar kelurahan kosku, terlihat rata,
hampir seluruh kota di selimuti hujan.
Setelah azan isya’ ada sms masuk di hpku. Aku buka, ternyata
sms dari Boy.
“Bud, saya ke situ agak malam ya. Soalnya di sini hujan
lebat.”
“ok Boy, santai aja.” Jawabku.
Aku menonton filem di kamar kos sambil menunggu si Boy
datang. Untuk menghindari jenuh, aku
buka facebook dan browsing mencari info. Sekitar jam Sembilan lebih si
Boy sms lagi.
“Bud, sorry ya aku gak bisa ke situ. Besok malam minggu depan
aja ya. Soalnya hujanya belom reda sampai sekarang”
“ok Boy, besok malam minggu depan saja gak papa” jawabku.
Sebenarnya aku merasa agak kecewa atas pembatalan tersebut,
mungkin karena ada ide yang mau saya omongkan ke si Boy yang sudah bekerja dan
itu sifatnya penting. Ada juga ide yang mau saya sampaikan dari Agus, teman
segrombolan ketika di jalanan dulu, saat
ini dia juga sudah bekerja keras di perantauan luar jawa. Tapi aku sadar, kondisi
sudah larut malam, cuaca juga masih gerimis, tak mungkin si boy menerjang
dinginya malam saat gerimis seperti ini.
Tak selang lama, ada telefon yang masuk ke hpku. Saya angkat,
ternya dari si Boy.
“Bud, aku meluncur ke situ.”
“oh iya Boy, nanti kamu ke depan kampus dua biar saya jemput.”
“ok, nanti kalau sudah sampai, saya telefon lagi.”
“ok.”
Ternyata dia menerjang juga dinginya malam, meluncur menuju
kosku. Sekitar hampir satu jam, si Boy sampai di gerbang kampus dua. Aku menjemputnya
untuk ku ajak sejenak mampir ke kosku dulu sebelum mencari tempat yang enak
untuk mengobrol. Dia terlihat kedinginan, jaketnya yang hampir semuanya basah
di copot lalu di tauruh kos.
Di kamar kos, saya sampaikan kondisi agus di Kalimantan, juga
ide untuk membuka usaha bersama. Si Boy mendengarkan dan menyetujui saja.
Lantaran ide mendirikan warung kopi yang sudah dua tahun belum juga terwujud
maka muncul ide baru dari agus untuk jualan popcorn.
“ayo ke angkringan boy biar enak ngomongnya, sekalian cari
kopi.” ajak ku.
“ok, ayo.” jawab si boy sambil menyalakan korek untuk
menikmati rokok surya16 yang baru saja
di buka.
Aku meluncur ke angkringan samping kampus satu, setelah
sampai lalu memesan esteh, Si boy memesan kopi capucino. Sambil menikmati rokok,
aku sampaikan kondisiku yang tak banyak berubah. Aku juga sampaikan perihal
keinginanku untuk bekerja, tetapi ada tanggung jawab lain yang harus aku
laksanakan. Tanggung jawab tersebut memang sudah menjadi pilihanku satu tahun
silam, kini aku harus melaksanakan.
Si boy mendengarkan dengan seksama dan sesekali menanggapi
dengan kata-kata bijak. Perbincangan di angkringan malam itu tidak terfokus
pada kondisiku yang tak banyak berubah dan kondisi si boy, tetapi lebih
terfokus pada ide Agus yang harus segera terealisasikan.
Ide dari agus untuk jualan popcorn mendapat sambutan baik
dari si Boy, apalagi setelah melihat beberapa tulisan di internet. Malam itu si
Boy juga menyempatkan mencari mesin pembuat popcorn yang beragam harganya. Ada
yang seken, harganya sekitar satu juta tujuhratus ribu, ada yang baru, tetapi
agak mahal yaitu empat sampai lima jutaan.
Si Boy mulai merumuskan apa saja yang perlu di persiapkan
untuk jualan popcorn. Sampai-sampai malam itu
juga si boy meminta agus untuk menelfon. Kabar dari telefon Agus
menambah semangat si Boy untuk segera meralisasikan usahanya tersebut.
Agus menyatakan kesiapanya untuk membantu menyukseskan usaha
bersama tersebut. Si Boy sibuk berselancar di dunia maya untuk mencari info
serta mencari cara membuat popcorn yang enak. Pokoknya semuanya sudah di
persiapkan si Boy demi kelancaran usahanya itu.
Tak terasa, jam sudah memperlihatkan pukul 00:lebih, karena
baterai netbook yang di pakai untuk berselancar di dunia maya sudah habis, aku
mengajak si Boy untuk balik ke kos. Si boy menuju ke penjaga angkringan untuk
menghitung dan membayar makanan dan minuman yang telah di pesan. Setelah itu
balik ke kos dan tidur.
Pagi sekitar jam setengah enam aku bangun untuk membangunkan
si Boy, setelah si Boy bangun dan pamitan untuk kembali ke tempat kerja aku
tidur lagi sampai jam delapan. Itulah si Boy yang gigih bekerja meski beberapa
rintangan datang melintang. Aku salut dengan si Boy, semoga usaha yang telah
kita idamkan segera di acc oleh Allah,
amiin.