Senin, 09 November 2015

BOY 180 DERAJAT

BOY 180 DERAJAT

                Pernahkah kamu merasa berat ketika di hadapkan suatu tanggung jawab. Pastinya pernah, apalagi jika tanggung jawab itu tidak sesuai bidang yang kamu sukai, apalagi jika ada kepentingan lain yang mendesak untuk kamu laksanakan demi bertahan hidup. Tetapi yang namanya tanggung jawab haruslah di laksanakan.
            Setiap ke kampus, aku melihat anak-anak melakukan hal yang sama. Berkumpul di meja bundar  untuk bercanda, ada juga yang sibuk internetan. Di depan Pusat Kegiatan Mahasiswa juga begitu, banyak anak kongkow hanya untuk sekedar bercanda. Di depan perpus terlihat deretan mahasiswa mengobrol, di dalam perpus banyak yang sibuk mencari buku untuk di buat referensi tugas makalah.
Seolah itu seperti siklus yang tak henti, tak ada sesuatu yang baru. Mungkin hanya gedung baru dan parkiran motor yang di pindah dari depan gedung F dan gedung E ke PKM, samping gedung E  dan parkiran belakang kantor lama. Pemindahan tersebut seperti memindahkan barang yang sama tanpa ada perbaikan yang  cukup signifikan untuk merubah budaya tertib berparkir.
Parkiran belakang kantor lama sekarang terlihat motor yang berjubel, berserakan, berantakan. Bahkan, jika mau mengambil motor yang terselip di deretan motor yang parkir sembarangan, maka harus meminta bantuan teman agar bisa menyingkirkan supaya dapat jalan keluar. Yang bikin jengkel lagi jika ada motor parkir sembarangan tapi di kunci setang, ingin rasanya aku membakarnya.
Di depan PKM juga tak jauh beda, meski di kasih garis-garis pembatas parkir tapi nyatanya masih saja ada yang parkir sembarangan. Mungkin karna jumlah mahasiswa yang semakin banyak otomatis jumlah motor juga mbludak, sedang luas parkir tetap.
Sebenarnya tulisan ini tidak di maksudkan membahas parkiran, biarkan itu menjadi urusan pejabat mahasiswa dan birokrasi untuk mengajak mahasiswa ikut bertanggung jawab atas problem parkir tersebut. Tulisan ini ingin menceritakan si Boy yang tampak beda menurut penglihatan saya.
Boy, temanku yang satu ini berhasil merubah hidupnya hingga hampir seratus delapan puluh derajat menjadi dirinya yang sekarang. Tidak pernah ku bayangkan, Boy yang dulu hidup di jalanan, jarang makan, pakaian compang-camping, sering berkhayal bersamaku kini sudah bekerja dan membatu menafkahi keluarganya seperti halnya kepala keluarga.
Semua karena kegigihanya bekerja, dari pagi jam delapan sampai malam jam Sembilan, dia sibuk menjaga warung ikan hias. Dia sudah menjadi tangan kanan bosnya, sampai-sampai di bukakan cabang warung ikan hias baru di pinggiran kota. Beberapa kali aku mengirim sms kepada Boy untuk menyempatkan mampir di kos ku agar bisa saling cerita.
Aku yang merasa tak banyak berubah, ingin belajar dari Boy, yang berhasil menekuni pekerjaan hingga bisa membantu menafkahi keluarga. Kita sama-sama dari kampung, sama-sama merantau ke kota, tapi saat ini yang menjadi pembeda adalah pola pikir kita dan isi dompet.
“Boy, mampir main ke kosku lah. Jangan sibuk bekerja terus.” sms ku.
“iya  Bud, nanti kalau malam minggu aku sempatkan main ke kosmu.” jawab si Boy.
Melihat jawaban  sms Boy yang mau manyempatkan main ke kosku malam minggu besok, aku mulai menepis agenda yang sudah ada maupun yang akan di rencanakan. Sebetulnya di malam minggu besok aku ada agenda mertamu ke salah satu acara besar Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, tapi aku batalakan saja untuk bertemu si Boy.
“boy, kamu ke sini jam berapa?.” Tanyaku di sms.
“jam delapan brooo, tunggu ya.” Jawab si Boy.
“ok bos.”
Mungkin ini sudah memasuki musim hujan, langit kota terlihat menghitam. Mulai azan mahrib, turun hujan lebat di sekitar kosku. Perasaanku, hujan lebat ini tidak mungkin hanya di sekitar kelurahan kosku, terlihat rata, hampir seluruh kota di selimuti hujan.
Setelah azan isya’ ada sms masuk di hpku. Aku buka, ternyata sms dari Boy.
“Bud, saya ke situ agak malam ya. Soalnya di sini hujan lebat.”
“ok Boy, santai aja.” Jawabku.
Aku menonton filem di kamar kos sambil menunggu si Boy datang. Untuk menghindari jenuh, aku  buka facebook dan browsing mencari info. Sekitar jam Sembilan lebih si Boy sms lagi.
“Bud, sorry ya aku gak bisa ke situ. Besok malam minggu depan aja ya. Soalnya hujanya belom reda sampai sekarang”
“ok Boy, besok malam minggu depan saja gak papa” jawabku.
Sebenarnya aku merasa agak kecewa atas pembatalan tersebut, mungkin karena ada ide yang mau saya omongkan ke si Boy yang sudah bekerja dan itu sifatnya penting. Ada juga ide yang mau saya sampaikan dari Agus, teman segrombolan ketika di jalanan dulu,  saat ini dia juga sudah bekerja keras di perantauan luar jawa. Tapi aku sadar, kondisi sudah larut malam, cuaca juga masih gerimis, tak mungkin si boy menerjang dinginya malam saat gerimis seperti ini.
Tak selang lama, ada telefon yang masuk ke hpku. Saya angkat, ternya dari si Boy.
“Bud, aku meluncur ke situ.”
“oh iya Boy, nanti kamu ke depan kampus dua biar saya  jemput.”
“ok, nanti kalau sudah sampai, saya telefon lagi.”
“ok.”
Ternyata dia menerjang juga dinginya malam, meluncur menuju kosku. Sekitar hampir satu jam, si Boy sampai di gerbang kampus dua. Aku menjemputnya untuk ku ajak sejenak mampir ke kosku dulu sebelum mencari tempat yang enak untuk mengobrol. Dia terlihat kedinginan, jaketnya yang hampir semuanya basah di copot lalu di tauruh kos.
Di kamar kos, saya sampaikan kondisi agus di Kalimantan, juga ide untuk membuka usaha bersama. Si Boy mendengarkan dan menyetujui saja. Lantaran ide mendirikan warung kopi yang sudah dua tahun belum juga terwujud maka muncul ide baru dari agus untuk jualan popcorn.
“ayo ke angkringan boy biar enak ngomongnya, sekalian cari kopi.” ajak ku.
“ok, ayo.” jawab si boy sambil menyalakan korek untuk menikmati rokok surya16 yang  baru saja di buka.
Aku meluncur ke angkringan samping kampus satu, setelah sampai lalu memesan esteh, Si boy memesan kopi capucino. Sambil menikmati rokok, aku sampaikan kondisiku yang tak banyak berubah. Aku juga sampaikan perihal keinginanku untuk bekerja, tetapi ada tanggung jawab lain yang harus aku laksanakan. Tanggung jawab tersebut memang sudah menjadi pilihanku satu tahun silam, kini aku harus melaksanakan.
Si boy mendengarkan dengan seksama dan sesekali menanggapi dengan kata-kata bijak. Perbincangan di angkringan malam itu tidak terfokus pada kondisiku yang tak banyak berubah dan kondisi si boy, tetapi lebih terfokus pada ide Agus yang harus segera terealisasikan.
Ide dari agus untuk jualan popcorn mendapat sambutan baik dari si Boy, apalagi setelah melihat beberapa tulisan di internet. Malam itu si Boy juga menyempatkan mencari mesin pembuat popcorn yang beragam harganya. Ada yang seken, harganya sekitar satu juta tujuhratus ribu, ada yang baru, tetapi agak mahal yaitu empat sampai lima jutaan.
Si Boy mulai merumuskan apa saja yang perlu di persiapkan untuk jualan popcorn. Sampai-sampai malam itu  juga si boy meminta agus untuk menelfon. Kabar dari telefon Agus menambah semangat si Boy untuk segera meralisasikan usahanya tersebut.
Agus menyatakan kesiapanya untuk membantu menyukseskan usaha bersama tersebut. Si Boy sibuk berselancar di dunia maya untuk mencari info serta mencari cara membuat popcorn yang enak. Pokoknya semuanya sudah di persiapkan si Boy demi kelancaran usahanya itu.
Tak terasa, jam sudah memperlihatkan pukul 00:lebih, karena baterai netbook yang di pakai untuk berselancar di dunia maya sudah habis, aku mengajak si Boy untuk balik ke kos. Si boy menuju ke penjaga angkringan untuk menghitung dan membayar makanan dan minuman yang telah di pesan. Setelah itu balik ke kos dan tidur.
Pagi sekitar jam setengah enam aku bangun untuk membangunkan si Boy, setelah si Boy bangun dan pamitan untuk kembali ke tempat kerja aku tidur lagi sampai jam delapan. Itulah si Boy yang gigih bekerja meski beberapa rintangan datang melintang. Aku salut dengan si Boy, semoga usaha yang telah kita idamkan segera di acc oleh Allah,  amiin.