Kamis, 29 Desember 2016

Pohon Maaf

Pohon Maaf
Oleh: Muhammad Shofwan Zaim

Untuk semuanya

Jadilah kita pohon

Buat semua pohon yang telah tersakiti

Buat debur ombak yang telah aku lempar

Buat daun yang mengering

Atas segala apa yang keluar dari nafas

Samudera permintaan maafku tidak bertepi

Nabi Muhammad, Islam, dan China

Nabi Muhammad, Islam, dan China
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Banyak yang bertanya-tanya: kenapa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.” Hadis ini sangat populer dan menimbulkan pro-kontra. Bagi yang pro, mereka mengatakan bahwa ini bukti bahwa Islam itu adalah agama terbuka dan tidak membatasi kaum Muslim untuk belajar dan menuntut ilmu dimana saja dan kepada siapa saja. Sementara bagi yang kontra, mereka bilang tidak mungkin kalau Nabi Muhammad menyuruh umat Islam belajar ke China yang ateis-komunis.

Saya hanya mesam-mesem memperhatikan argumen yang “unyu-unyu” ini. Padahal, China itu baru menjadi “negara komunis” pada 1947-1949, ketika Mao Zedong (Mao Tse Tung) dengan bendera Partai Komunis China (berdiri pada 1921) berhasil memimpin revolusi politik yang memaksa menaklukan Partai Nationalis China, Kuomintang (Gomindang) yang sebelumnya menguasai “Negeri Panda” ini. Sebelum era itu, tidak ada komunisme di China atau Tiongkok. Jadi ya tidak nyambung kalau menyangkal hadis diatas lantaran China itu komunis.

Seperti umumnya negara-negara lain, China menjadi ajang penaklukkan berbagai kelompok. Berbagai imperium dan dinasti juga pernah silih berganti memerintah China: Qing, Yuan, Ming, Song, Tang, Han, Qin, dlsb. Nabi Muhammad lahir di Mekah pada 570 dan wafat di Madinah tahun 632. Pada zaman Nabi Muhammad ini, China berada di bawah Dinasti Tang yang kelak digantikan oleh Dinasti Song. Pada masa Dinasti Tang (juga Song) inilah, China mengalami “Zaman Keemasan” (Golden Age) karena maju pesat di berbagai bidang: pendidikan, seni, sastra, budaya, politik-pemerintahan, ekonomi, teknologi, dlsb. Ibukota Dinasti Tang, Chang’an (kini Xi’an), menjelma menjadi kota kosmopolitan dan pusat peradaban yang masyhur kala itu. Banyak para sastrawan, sarjana, dan ilmuwan hebat lahir pada masa ini. Pendiri Dinasti Tang, Kaisar Gaozu dan penerusnya Kaisar Taizong, adalah kunci di balik kemajuan dan kemasyhuran dinasti ini.

Jauh sebelum Max Weber mengenalkan konsep “birokrasi rasional”, Dinasti Tang sudah mempraktekkannya dimana para pegawai pemerintah dan institusi-institusi yang berafiliasi ke pemerintahan direkrut dengan model seleksi berbasis kapabilitas, kompetensi dan intelektualitas bukan relasi feodal-primordial. Dinasti Tang pula yang memajukan relasi perdagangan dengan Arab, Persia, Maroko dan Afrika Utara dan Barat lainnya melalui Jalur Sutera (Silk Road). Pada waktu itu, Dinasti Tang menyediakan area pemukiman khusus, bernama Fan Fang, untuk menampung para pedagang dan pelayar dari Timur Tengah dan Afrika ini.

Pada masa Dinasti Tang inilah terjadi kontak pertama kali China dengan Islam. Meskipun Nabi Muhammad belum pernah ke China waktu itu tetapi kemasyhuran dan kemajuan China sudah terdengar ke berbagai kawasan Arab dibawa oleh para pedagang dan pelayar ini. Jeddah yang berada di wilayah Mekah adalah pusat perdagangan dan pelayaran di Semenanjung Arabia. Jadi sangat wajar sekali kalau kemudian beliau menyuruh kaum Muslim untuk belajar dan menempuh ilmu meskipun sampai ke Negeri China (Bahasa Arab: Shin). Kelak, sahabat Nabi Muhammad, Khalifah Usman bin Affan, menunjuk Sa’ad bin Abi Waqash untuk memimpin delegasi kaum Muslim ke China guna menjalin persahabatan dengan Dinasi Tang. Bahkan beliau konon wafat dan dimakamkan di China yang makamnya hingga kini masih ramai diziarahi banyak umat Islam.

Karena itu tidak heran jika China merupakan salah satu “rumah Muslim” yang sangat tua. Chinese Annals dari Dinasi Tang (618-960) juga mencatat adanya pemukiman umat Islam di Kanton, Zhangzhouw, Quanzhou dan pesisir China Selatan lain. Bukti historis yang tidak terelakkan tentang eksistensi kaum Muslim China adalah adanya dua buah masjid kuno di Kanton (Masjid Kwang Tah Se = “Masjid Bermenara Megah” dan Masjid Chee Lin Se=“Masjid Bertanduk Satu”) yang menurut beberapa sejarawan ahli studi China seperti Lo Hsiang Ling, Ibrahim Tien Ying Ma, Broomhall, dlsb, merupakan masjid kedua tertua di dunia setelah Masjid Nabawi yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah. Masjid Kwang Ta Se di Kanton itu bahkan konon merupakan masjid pertama yang dibangun diluar kawasan Arab! Subhanallah. Takbir...
Nah, sekarang sudah paham belum? Belum…Kalau belum ya, baca sendiri sana yang banyak...
Jabal Dhahran, Arabia

Sejumlah Kelompok Islam Memang Norak

Sejumlah Kelompok Islam Memang Norak
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Apakah ada yang tahu asal-usul pembubaran kebaktian Natal jamaah Stephen Tong di Bandung? Kalau dari berita dan informasi yang saya terima, alasan sebuah kelompok Islam di Bandung yang membubarkan kegiatan agama ini karena mereka menggunakan fasilitas gedung umum untuk ibadah. Oleh kelompok ini, kebaktian Natal harus dilakukan di gereja, bukan di gedung umum.

Jika memang benar demikian alasan yang mereka kemukakan, maka pemikiran dan tindakan ini sudah cukup untuk mengukur betapa mininya otak mereka, betapa kerdilnya tindakan mereka, betapa cupetnya wawasan mereka.

Sejak kapan ada aturan sebuah ibadah agama harus dilakukan hanya di tempat ibadah masing-masing agama? Sejak kapan "gedung publik" tidak bisa digunakan untuk acara-acara keagamaan? Memangnya umat Islam tidak pernah memakai fasilitas atau sarana publik (gedung, jalan, kantor, dlsb) untuk menggelar ibadah? Bukankah umat Islam sering menggelar acara-acara keagamaan seperti Isra' Mi'raj, Mauludan, salat Jum'at, dlsb di gedung-gedung umum? Bukankah Monas yang barusan dipakai untuk salat Jum'at kolosal itu juga merupakan sarana publik? Kenapa mereka tidak membubarkan yang salat Jumat di Monas?

Seribu alasan bisa dibuat. Tapi itu tidak bisa menutupi fakta-fakta yang berserakan bahwa memang ada sejumlah kelompok Islam di Indonesia yang mengidap penyakit "Christianopobhia" seperti yang pernah saya tulis di Deutsche Welle. Lucunya, saya menulis ini ada yang menganggap saya sebagai "pemecah belah bangsa", "pro-Kristen", "anti Islam", dlsb.

Kemudian, bukankah aksi pembubaran kebaktian Natal itu juga merupakan bentuk penistaan agama? Coba Anda renungkan dan bayangkan apa yang terjadi jika yang menggelar ibadah di gedung publik di Bandung itu adalah kaum Muslim kemudian datang sekelompok ormas membubarkan ibadah mereka? Apa yang terjadi? Apa yang Anda rasakan?

Beragamalah dengan cara-cara cerdas, dewasa dan toleran. Tindakan kalian yang norak itu tidak akan menjunjung kebesaran Islam apalagi Tuhan tapi justru telah mempermalukan Islam dan Tuhan itu sendiri. Bumi ini milik semua umat. Indonesia ini bukan hanya milik "engkong" dan nenek-moyang kaum Muslim saja. Juga yang perlu Anda ingat dan bila perlu ditempel di jidat kalian: Tuhan itu milik semua umat agama, bukan hanya umat Islam saja!!
Jabal Dhahran, Arabia

Kiai Kampung dan "Rebonding"

Kiai Kampung dan "Rebonding"
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Suatu saat, Kiai Ahmad dari sebuah kampung di Jawa Tengah sedang jalan-jalan santai di kampungnya sehabis salat. Di tengah jalan ia bertemu dengan Mbak Wati tetangganya. Maka terjadilah percakapan singkat:
Kiai Ahmad: "Mbak Wati mau pergi kemana kok necis sekali?"
Mbak Wati: "Mau ke salon Pak Kiai".
Kiai Ahmad: Memangnya kenapa salonnya? Rusak ya?
Mbak Wati: Salon itu tempat potong rambut, kiai. Tapi saya mau 'rebonding', bukan potong rambut.
Kiai Ahmad: Rebonding itu apa?
Mbak Wati: Rebonding itu artinya "meluruskan". Jadi rambutku yang keriting ini mau saya luruskan di salon gitu pak.
Kiai Ahmad pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mbak Wati dan cukup senang mendapat kosa kata baru yang bernama "rebonding." Keesokan harinya, kebetulan ada acara pengajian muludan di kampung untuk mengenang Nabi Muhammad SAW.
Melihat para jamaah pengajian yang duduknya semrawut tidak karuan, Kiai Ahmad langsung menyambar mikrofon dan berkata lantang: "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Para hadirin dan hadirot, bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, sebelum pengajian dimulai tolong tempat duduk kalian 'direbonding' dulu supaya teratur dan enak dipandang mata. Demikian dan terima kasih. Wassalam."
Jabal Dhahran, Arabia

Masjid Canton dan Sejarah Islam di China

Masjid Canton dan Sejarah Islam di China
oleh: Sumanto Al Qurtuby

Ini melanjutkan “kuliah virtual” tentang sejarah dan perkembangan Islam di China (Tiongkok). China bukan hanya rumah bagi pemeluk Konghucu, Taoisme, Budha, atau pengikut non-teis dan ateis, tetapi juga umat Islam. Menurut data yang dirilis oleh Yang Zongde pada tahun 2010 dalam karyanya, Study on Current Muslim Population in China, ada sekitar 23 juta kaum Muslim di China atau sekitar 1,7% dari total penduduk. Dengan begitu, jumlah umat Islam di China jauh lebih besar ketimbang kaum Muslim di Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina, dlsb. Arab Saudi saja sebagai negara paling luas dan gemuk di kawasan Arab Teluk hanya berpenduduk sekitar 30 juta.

Mayoritas Muslim di China beretnik Hui, kemudian Uyghur yang merupakan campuran etnik Turki yang mendiami kawasan Asia Tengah dan Timur. Xinjiang adalah kawasan Muslim terpadat di China, disusul Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Sebagian besar penduduk Muslim China beraliran Sunni, meskipun pengikut Syiah juga lumayan banyak. Menariknya, tidak ada catatan tentang konflik Sunni-Shiah di China.

Perlu diketahui, usia Islam di China jauh lebih tua ketimbang Islam di “Indonesia”. Para sejarawan ahli China Islam seperti Dru Gladney, Marshall Broomhall, C. Sell, Muhammad Fu, Ibrahim Tien Yin Ma, dlsb, mencatat Islam sudah masuk ke China sejak awal perkembangan Islam itu sendiri. Para sahabat Nabi Muhammad sendirilah yang mula-mula memperkenalkan Islam ke China. Diantara para sahabat Nabi yang memperkenalkan Islam di China adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Hassan bin Tsabit, Suhaila Abu Arja, Wahab bin Abu Kabsyah, dan Uwais al-Qarani. Mereka mencapai China ada yang melalui “jalur maritim” atau daratan (dikenal dengan Silk Road atau “Jalur Sutera”). Ada para sahabat Nabi yang bahkan “kombak-kambek” alias bolak-balik ke China baik urusan perdagangan maupun dakwah.

Di antara sekian sahabat Nabi yang memperkenalkan Islam di China, Sa’ad bin Abi Waqqash-lah yang paling senior dan terkenal. Konon beliau adalah paman Nabi Muhammad dan pemeluk Islam yang ke-17. Beliau juga pernah menjadi Gubernur Basrah. Beliau dipercaya wafat di Guangzhou, China, dan makamnya hingga kini masih ramai diziarahi kaum Muslim.

Sa’ad bin Abi Waqqash jugalah yang diutus secara resmi oleh Khalifah Usman bin Affan untuk menemui Kaisar Gaozong guna menjalin “hubungan diplomatik” dengan Dinasti Tang. Untuk mempererat persahabatan dengan Arab dan Islam sekaligus untuk mengenang Nabi Muhammad, Kaisar Gaozong kemudian menginstruksikan pembangunan masjid di Canton yang bernama Masjid Huaisheng atau populer dengan sebutan Masjid Raya Canton yang dibangun tahun 627 (seperti dalam foto di bawah ini). Oleh sejarawan, masjid ini dianggap sebagai masjid tertua di dunia setelah Masjid Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Setelah jejak-jejak Islam di China disemai oleh para sahabat, kelak tradisi hubungan persahabatan Islam dan China ini dilanjutkan oleh Daulah Ummayah dan Daulah Abbasiyah serta rezim-rezim Islam berikutnya. Di China pun, hubungan baik dengan Islam terus berlanjut paska tumbangnya Dinasti Tang. Kelak, Islam di China mengalami puncak kejayaan di masa Dinasti Yuan dan kemudian Dinasti Ming (bersambung).

Sejarah Islam di Tiongkok

Sejarah Islam di Tiongkok
oleh; Sumanto Al Qurtuby
Seperti saya jelaskan sebelumnya, Islam pertama kali menjamah dataran Tiongkok sejak era Dinasti Tang (618–907) yang kemudian mengalami perkembangan signifikan pada masa Dinasti Song (960–1279). Kelak kaum Muslim mengalami “masa kejayaan” pada era Dinasti Yuan (1271 – 1368) yang dikontrol oleh Mongol dan puncaknya pada masa Dinasti Ming (1368–1644). Pada masa Dinasti Ming inilah hidup seorang legenda bernama Laksamana Cheng Ho atau Zeng He yang dipercayai sebagai seorang Muslim dan dikenal sebagai salah satu petualangan besar dunia.

Menurut catatan (annals) dari Dinasti Tang, orang-orang Arab dan juga Persia di Tiongkok dulu dikenal dengan sebutan Dashi (Tashi). Pada era Tang ini banyak kerja sama politik, ekonomi, dan budaya digelar dengan “rezim Islam” (baik Daulah Muawiyah maupun kelak Abbasiyah). Para tentara Muslim dulu juga dikerahkan untuk membantu Kaisar Su-Tsung untuk melawan kaum pemberontak yang ingin mengkudeta kerajaan di bawah pimpinan Jenderal An Lushan.

Kelak, Daulah Abbasiyah juga membantu Tang mengusir para pemberontak dari Tibet di Asia Tengah. Khalifah Harun Al-Rashid dari Abbasiyah, seperti dicatat oleh Annals dari Dinasti Tang, juga tercatat berali-kali mengirim utusan dan menjalin hubungan diplomatik dan niaga dengan Tang, terutama melalui jalur maritim. Karena intensitas perdagangan maritim yang tinggi antara Arab–Tiongkok inilah, maka kelak Canton (atau “Khanfu” dalam Bahasa Arab), “kota pelabuhan” di China Selatan dulu banyak dihuni kaum Muslim. Para sejarawan mencatat ada sekitar 200,000 Muslim dari Arab maupun Persia di Canton kala itu.

Ketika Dinasti Song berdiri di awal abad ke-10, hubungan dengan Islam Arab, Persia, dan Afrika Utara terus berlanjut bahkan semakin intensif. Kaum Muslim di Tiongkok tinggal di kawasan khusus (settlement) yang disediakan oleh pemerintah sejak Dinasti Tang, yang disebut Fan Fang. Para sejarawan juga mencatat kaum Muslim memainan peran sentral di bidang industri ekspor-impor pada zaman Dinasti Song. Sejarawan Dawood Ting bahkan menulis kalau Direktur Jenderal urusan impor-ekspor ini bahkan seorang Muslim. Kelak, Kaisar Shenzong dari Song juga mendatangkan ribuan Muslim dari Bukhara (Russia) ke Tiongkok untuk ikut membentengi China dari Kekaisaran Liao di Tiongkok utara. Kaum Muslim ini kemudian tinggal di kawasan Kaifeng (ibukota Song) dan Yenching (kini: Beijing).

Kaum Muslim mendapat momentum ketika Dinasti Yuan berkuasa. Dinasti Yuan yang didominasi oleh kaum Mongol ini tidak percaya kepada etnis Han (etnis mayoritas di Tiongkok), dan sebagai gantinya mempromosikan orang Muslim (juga Yahudi) dari Arab dan Timur Tengah di posisi-posisi tinggi, baik di pemerintahan maupun militer, guna mengontrol dan menjaga kaum Han.

Orang-orang Muslim ini kemudian kawin-mawin dengan gadis-gadis lokal China sehingga semakin banyak jumlah mereka pada masa Yuan ini. Karena itu ada pepatah di Tiongkok: “In the Yuan Dynasty, Muslims were all over the universe” (i.e. China). Pada masa Yuan ini juga Daulah Abasiyah yang berpusat di Baghdad ditaklukkan oleh tentara Hulagu Khan. Orang-orang yang Muslim Semit yang ditaklukkan itu kemudian dibawa ke Tiongkok untuk dipekerjakan di pemerintahan, perkapalan, kesenian, dan kemiliteran (bersambung).
Jabal Dhahran, Arabia

Kematian dan Dunia Lain

Kematian dan Dunia Lain
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Apakah anda percaya dengan "dunia lain"? Apakah Anda percaya dengan makhluk "dunia lain"? Apakah Anda percaya kalau orang wafat sebetulnya tidak "wafat" tapi cuma "pindah hidup di dunia lain" saja? Apakah Anda percaya kalau orang-orang terkasih yang "wafat" sebetulnya tetap setia menjaga kita dari "dunia lain" itu? Dengan kata lain, sebetulnya tidak ada yang namanya "kematian" karena orang yang mati itu sebetulnya hidup hanya di dunia yang berbeda saja.
Setiap agama dan kepercayaan memiliki tafsir dan penjelasan sendiri-sendiri tentang kematian dan dunia lain. Setiap budaya dan masyarakat memiliki pemahaman masing-masing mengenai kematian dan hal-ikhwal dunia lain. Kaum agamawan dan sekularis, kaum teis dan ateis, semua memiliki tafsir sendiri-sendiri tentang kenapa orang mati dan bagaimana dengan situasi dunia lain paska kematian.
Banyak orang menganggapku tidak percaya dengan "dunia lain". Mungkin karena mereka menganggapku "sekuler-liberal" jadi dikira saya tidak mempercayai "dunia mitis disana". Salah besar, saya itu seorang yang "sangat spiritualis" dan percaya sekali dengan "dunia mitis".
Meskipun sudah kemana-mana, saya tetap seorang "Muslim Jawa" dan "dunia Jawa" serta pandangan hidup orang Jawa adalah "sangat spiritualis dan mitis" sekali. Jika ada orang Jawa tapi kok tidak spiritualis dan tidak percaya dengan dunia mitis apalagi menyerang hal-ikhwal yang berhubungan dengan "dunia lain", maka perlu diragukan ke-Jawa-annya he he.
Ini kisah nyata. Saya mau berbagi pengalaman disini dengan para jama'ah Facebook yang budiman. Suatu saat saya pernah tinggal serumah selama 2-3 bulan dengan seorang teman kuliah di pinggiran kota Boston, Massachusetts. Rumahnya sangat tua, seabad lebih. Temanku, seorang warga Amerika (dan lai-laki) tinggal sendirian disini.
Nah pada malam pertama saya tinggal di rumah itu, ketika tidur dalam gelap (saya kalau tidur pasti dalam "kegelapan"), seperti ada seorang ibu bule paruh baya menggangguku: memegang-megang kepalaku, menggoyang-goyang badanku.
Saya antara sadar dan tidak waktu itu. Seperti dalam mimpi tapi auranya kuat sekali. Kemudian tiba-tiba datang almarhum ayah seperti memintanya untuk pergi dan tidak menggangguku. Dan memang sejurus kemudian, ibu bule itu langsung pergi.
Pagi harinya, saya ceritakan kejadian itu kepada temanku yang sekuler dan "setengah ateis" itu he he. Eh dia malah tertawa seraya berkata: "Itu ibuku. Kamar yang kamu pakai untuk tidur itu adalah kamar ibuku yang baru saja meninggal".
Itu cerita "dunia lain" bagian pertama, yang berikutnya menyusul saja ya (kalau gak kelupaan sih he he). Apakah Anda juga pernah mengalami hal serupa? Silakan berbagi cerita disini...
Jabal Dhahran, Arabia
Suka
Komentari

Kenapa Orang Beragama Bersikap Intoleran?

Kenapa Orang Beragama Bersikap Intoleran?
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Ada beberapa faktor yang membuat orang beragama bersikap intoleran dengan kelompok agama lain. Idealnya atau seharusnya, orang beragama itu toleran dan pluralis dalam bersikap. Bukan malah sebaliknya: intoleran dan anti-pluralisme. Lalu, apa faktor-faktor yang membuat orang beragama malah anti toleransi dan pluralisme?

Salah satu faktor mendasar adalah kuper alias kurangnya pengalaman, pergaulan, dan pergumulan dengan komunitas agama lain. Pengetahuan tinggi tidak menjamin seseorang bisa menjadi toleran dan pluralis jika tidak diiringi dengan pengalaman pergaulan dan pergumulan yang memadai dengan kelompok agama lain. Karena itu jangan heran, kalau ada banyak "orang pinter" tapi "keblinger" alias tidak ramah dengan keanekaragaman. Bahkan pengalaman pergaulan lintas-agama itupun tidak menjamin orang bersikap toleran, jika mereka tidak memiliki komitmen yang tulus untuk saling mengenali dan memahami keunikan masing-masing tradisi dan agama. Dengan kata lain, bukan sekedar “pengalaman empiris” tetapi “pengalaman transformatif” yang membuat sebuah pengalaman bisa lebih bermakna dan berdampak positif bagi muncul dan tumbuhnya sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.

Karena itu pula jangan heran jika Anda melihat orang-orang kampung yang polos, sederhana dan "minim" wawasan dan ilmu-pengetahuan mereka tetapi mampu bersikap toleran. Bukan karena "ilmu pengetahuan" yang membuat "wong cilik" dan "wong kampung" bersikap toleran tetapi lantaran mereka diperkaya dengan pengalaman yang “transforming” dengan seringnya bergaul dan bergumul dengan berbagai komunitas di berbagai acara-acara sosial, adat, dan kehidupan sehari-sehari mereka. Lagi pula, orang kampung dan wong cilik kebanyakan lebih suka memilih sikap “pragmatis”, simpel dan “tidak neko-neko” dalam kehidupan sosial-keagamaan. Ini berbeda dengan sikap “idealis” seperti yang dipraktekkan oleh sejumlah ormas keagamaan intoleran.
Lalu, apakah ilmu-pengetahuan itu sendiri bisa membuat orang bersikap pluralis dan toleran tanpa harus diiringi dengan pengalaman? Bisa, asalkan kita mendalami ilmu-pengetahuan itu dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan umat beragama hanya mengaji dan mendalami ilmu pengetahuan dari satu sudut pandang saja sehingga wawasannya tidak “komprehensif”. Padahal, dengan mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai sudut pandang, mata hati dan pemikiran kita akan lebih terbuka dan maklum dengan fakta-fakta keanekaragaman pendapat yang bisa memperkaya cakrawala dan wawasan kita tentang sebuah masalah dan fenomena sosial-keagamaan sehingga tidak “kaku-njeku” seperti tiang listrik dalam berpendapat dan bersikap.

Karena itu saya sarankan kepada umat Islam khususnya, lebih khusus lagi bagi yang mau belajar, untuk mengaji dan mengkaji keislaman dari berbagai sudut pandang: sudut pandang Sunni, Shiah, Ibadi, Mu’tazilah, dlsb; sudut pandang berbagai ulama di berbagai mazhab: Maliki, Syafii, Hanafi, Hanbali, Ja’fari, dlsb; sudut pandang berbagai ulama tafsir dan hadis; sudut pandang berbagai disiplin: Islamic studies, antropologi, sejarah, sosiologi, dlsb; sudut pandang berbagai ilmu keislaman: fiqih, usul fiqih, akidah, tasawuf, filsafat, akhlak, dlsb.

Dengan berselancar ke berbagai sudut pandang ini, kita akan tahu betapa luasnya khazanah Islam laksana samudra yang tak bertepi, dan betapa mininya wawasan dan ilmu pengetahuan kita semini metromini di Jakarta dan kota-kota di Indonesia. Dengan berselancar ini pula akan membantu dan mengantarkan kita menjadi “rajawali” di langit yang mahaluas bukan menjadi “kodok” di dalam tempurung.

Apakah pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kaya bisa menjamin orang menjadi toleran dan pluralis? Tidak. Jika hati dan pikiran kita penuh dengan “kotoran” dan “kepentingan”, maka seluas apapun pengetahuan kita dan sekaya apapun pengalaman kita, maka kita tidak mampu dan tidak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang bijak, toleran, dan pluralis.
Jabal Dhahran, Arabia

Fatwa Natal

Fatwa Natal
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Setiap menjelang Natal kok mesti ribut dan sibuk soal "fatwa Natal" sampai bosan aku mengomentari. Begini, terhadap fatwa sejumlah ulama dan institusi Islam seperti MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal itu harus disikapi dengan santai dan biasa-biasa saja. Tidak perlu overdosis dalam bersikap. Tidak perlu reaksioner, dan tidak perlu "lebay-njeblay".

Kelompok yang reaksioner biasanya mengaggap ulama / lembaga ulama yang mengfatwakan haram bagi umat Islam untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen sebagai kaum intoleran, anti-pluralisme, tidak berwawasan kebangsaan, dlsb. Sementara kelompok "lebay-njeblay" menggalang massa untuk mengawal fatwa sambil sweeping atribut-atribut Natal dimana-mana. Atribut-antribut Natal itu seperti ketupat atau opor ayam saat Idul Fitri gak ada urusannya dengan Natal apalagi "iman Kristen", jadi buang-buang energi saja antum ini he he.

Begini, tentunya para ulama yang mengfatwa haram bagi kaum Muslim untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen itu juga didukung oleh dalil yang valid, tidak sembarangan. Jadi harus dihormati pendapat mereka. Biasanya dasar atau sebab pengharaman itu lantaran dengan mengucapkan Natal berarti umat Islam secara diam-diam telah mengakui kebenaran akidah Kristen.

Jadi, mengucapkan Natal itu semacam "tacit endorsement" atau "dukungan terselubung / diam-diam" atas keimanan dan sistem teologi umat Kristen, dan karena itu haram bagi kaum Muslim untuk mengucapkannya. Inilah yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, ulama abad ke-14 yang sangat berpengaruh di kalangan kelompok Salafi, dalam kitabnya Iqtidlaus Shirathil Mustaqim, yang banyak dikutip oleh para ulama hingga kini sebagai dasar pendukung pengaharaman tadi.

Apapun dasar atau dalilnya, yang namanya "fatwa" itu tetap saja sebuah pendapat hukum yang tidak mengikat. Setiap ulama atau lembaga keulamaan bisa mengeluarkan fatwa sesuai dengan dalil, dasar, dan argumen masing-masing. Karena hanya sebuah pendapat, untuk apa dikawal? Kalau setiap fatwa MUI harus dikawal, apa tidak pening kepala dan gempor tuh badan karena ada ribuan fatwa yang dikeluarkan MUI. Coba, silakan dikawal fatwa MUI yang mengharamkan rokok? Ya gak mungkin mau mengawal wong mereka pada merokok semua he he.

Nah, sekarang bagaimana kalau mengucapkan "Selamat Natal" sebagai "simbol pertemanan" saja, tidak ada urusannya dengan kekhawatiran menjadi "kafir" atau "musyrik"? Ya, silakan dimaknai sendiri, boleh atau tidak. Wong cuma mengucapkan "Selamat Natal" doang kok serius amat sampai urusan teologi.

Di kawasan Arab, ungkapan selamat Natal biasanya diterjemahkan sebagai "Id al-milad milad sa'id". Di Iran atau Afganistan, dengan ungkapan "Christmas Mubarak". Para tokoh dan kaum Muslim, khususnya di Palestina, Lebanon, Irak, dan kawasan yang banyak populasi umat Kristennya biasanya di Hari Natal begini mengucapkan: "led Mîlâd Sa'îdah, wa Sanah Jadîdah. Kullu 'Âm wa Antum bi-Khayr. Âmîn (Selamat Natal dan tahun baru. Semoga sepanjang tahun Anda selalu dikaruniai atau berada dalam kebaikan. Amin).

Kalau menurutku sih gampang saja, kalau hanya dengan mengucapkan "Selamat Natal" kepada teman-teman Kristen kok dianggap telah keluar dari Islam, ya nanti tinggal masuk lagi. Gitu aja kok repot...
Jabal Dhahran, Arabia

Para Ulama yang Membolehkan Mengucapkan "Selamat Natal"

Para Ulama yang Membolehkan Mengucapkan "Selamat Natal"
oleh: Sumanto Al Qurtuuby
Apakah semua ulama mengharamkan mengucapkan "Selamat Natal" seperti yang difatwakan MUI? Tidak. Ada banyak ulama yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" dengan berbagai dalil, alasan, argumen, dan pertimbangan.
Seperti saya jelaskan sebelumnya, salah satu sumber utama pengharaman Natal sebetulnya berasal dari pendapat para ulama seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) atau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 1350) yang kemudian menjadi rujukan sebagian ulama kontemporer, khususnya yang mengikuti aliran atau tradisi "Salafisme". Perlu dicatat, ada banyak ulama dan sarjana Muslim modern yang tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Qayyim yang dipandang tidak lagi akurat dan relevan.
Di antara ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" kepada para keluarga, teman, kolega, dlsb yang beragama Kristen adalah Sheikh Ali Jumuah (Ali Gomaa). Beliau adalah mantan Grand Mufti Mesir (2003-2013), profesor Hukum Islam di Universitas al-Azhar, Mesir, serta anggota Dewan Fatwa Mesir dan International Islamic Fiqh Academy. Beliau berargumen, pengharaman mengucapkan "Selamat Natal" sebagai pelanggaran serius terhadap substansi Islam sebagai agama rahmat yang memberikan kedamaian kepada semua umat manusia maupun esensi Islam dan Al-Qur'an yang sangat menghormati Yesus.
Para Grand Mufti Mesir dan Ulama / Syaikh Al-Azhar pada umumnya memang sangat toleran, moderat, dan fleksibel seperti Syaikh Mahmoud Syaltout, Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Amhed al-Tayep, dlsb.
Ulama lain yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" adalah Syaikh Dr. Muhammad Tahir-ul-Qadri, pendiri Minhaj al-Qur'an International, ahli tafsir terkemuka, dan seorang yang sangat alim dan dihormati bukan hanya di tanah kelahirannya di Pakistan tetapi juga di negara-negara Barat. Beliau juga seorang ulama yang sangat anti terhadap kekerasan dan terorisme berbau agama. Setiap tahun beliau selalu mengucapkan "Selamat Natal" (dalam bahasa Inggris, Urdu, dan Arab) kepada umat Kristen karena mengaggapnya sebagai bagian dari respek terhadap Yesus, Kristen, dan Injil yang juga diakui dalam Al-Qur'an, serta komitmen terhadap pesan universal kemanusiaan Islam terhadap semua makhluk.
Suatu saat Syaikh Tahir-ul-Qadri menulis, "The [Xmas] day highlights the teachings and message of Jesus Christ. Belief in the Prophethood of Jesus Christ and Bible being the Divine Book is part of Muslims faith. Allah Almighty sent him to the world at a time when the world needed love, compassion for humanity and peace.”
Imam Salim Chishti, seorang ulama-sufi yang cukup berpengaruh di Barat, adalah ulama kontemporer lain yang menghalalkan mengucapkan "Selamat Natal" bagi umat Islam kepada umat Kristen atas dasar spirit persaudaraan iman. Bahkan Shaikh Yusuf Qardawi, seorang ulama kharismatik berpengaruh dan penulis produktif yang kini menetap di Qatar, juga membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" dengan alasan bahwa pengucapan itu sebagai bentuk dari kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang menjadi ruh agama Islam terhadap umat non-Muslim, apalagi umat Kristen yang merupakan sesama rumpun agama Semit.
Demikian "kuliah virtual" singkat kali ini semoga ada manfaatnya. Akhirul kalam, yang saya herankan dan renungkan dan membuatku "gundah gulana" sampai sekarang kenapa fatwa para ulama termasuk MUI itu hanya mengharamkan pengucapan "Selamat Natal" saja. Kenapa mereka tidak mengharamkan "Libur Natal", "Kue Natal" atau "Diskon Natal", misalnya? Kenapa eh kenapa. Jika mengucapkan Natal saja dianggap "mengakui" kepercayaan umat Kristen sehingga diharamkan apalagi ikut menikmati libur, kue dan diskon Natal he he.

Umat Islam Mestinya Berterima Kasih kepada Kaum Liberal

Umat Islam Mestinya Berterima Kasih kepada Kaum Liberal
oleh: Sumanto Al Qurtuby
Banyak kaum Muslim di Indonesia (dan juga negara-negara mayoritas Muslim lain) yang begitu antipati terhadap kelompok liberal. Padahal, di negara-negara Barat, kaum liberalah yang banyak membantu dan membela kaum Muslim dari gempuran, olok-olok, dan pelecehan kaum konservatif. Kaum liberal ini pula, baik yang berafiliasi ke Kristen, Yahudi, sekularis, agnostic, ateis, dlsb yang membentengi umat Islam dari serangan kelompok Islamophobis yang sudah menjadi “industri” di Barat.

Liberalisme adalah sebuah filosofi atau “pandangan dunia” yang bertumpu pada ide-ide kebebasan dan persamaan dalam segala aspek kehidupan: keagamaan, kepercayaan, pendidikan, ekonomi, intelektualisme, dan hak-hak dasar kemanusiaan lain, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, etnis, bahasa, dlsb.. Jika “liberalisme klasik” lebih menekankan pada aspek peranan kebebasan (liberty), maka “liberalisme sosial” lebih menekankan pada peranan persamaan (equality).

Karena memandang pentingnya “kebebasan” dan “persamaan” inilah, maka kaum liberal selalu berada di garda depan dalam pembelaan terhadap kelompok minoritas di Barat, termasuk kaum Muslim. Seperti tampak dalam foto di bawah ini, dimana sekelompok non-Muslim di Amerika (?) sedang menjaga umat Islam yang sedang menjalankan salat Jum’at di sebuah masjid atau Islamic Center. Mereka melakukan aksi ini karena adanya gelombang pendapat yang nyinyir terhadap Islam dan kaum Muslim yang diserukan oleh kelompok konservatif yang mendukung Donald Trump. Aksi mereka ini persis seperti akang-akang Banser NU yang menjaga gereja-gereja pada waktu Natal karena adanya pendapat-pendapat nyinyir terhadap Kristen yang diserukan oleh sekelompok Muslim konsevatif. Kaum liberal pula yang banyak membantu dan “membekingi” pendirian masjid-masjid atau pusat-pusat kajian Islam di Barat, termasuk masjid-masjid yang disponsori oleh umat Islam Indonesia di Barat.

Hanya saja sangat disayangkan ada sejumlah kelompok Islam konservatif (baik yang di Indonesia maupun yang di Barat) yang hanya melihat “sisi negatif” masyarakat Barat (terutama Kristen dan Yahudi), persis seperti kaum konservatif Barat yang hanya melihat “sisi negatif” Islam dan kaum Muslim. Jika hanya negatifnya saja yang dilihat, kapan kita bisa menilai dan mengapresiasi kontribusi positif umat lain? Rajin-rajinlah bertafakur dan meditasi supaya hati dan pikiran kita tidak dipenuhi oleh "pikiran-pikiran jorok" dan “kotoran-kotoran duniawi”.

Di zaman Internet seperti ini, hendaknya kita harus saling menahan dan menjaga diri dari aneka perbuatan kekerasan dan intoleransi karena secuil apapun perbuatan yang kita lakukan akan berdampak global dan dibaca oleh umat sepenjuru dunia. Ingat umat Islam tidak hanya di Indonesia saja. Mereka bertebaran dimana-mana: dari Amerika dan Australia sampai Cina dan Russia, dan bahkan Amerika Latin. Di Indonesia, kaum Muslim memang mayoritas, tapi di sejumlah negara lain, mereka menjadi minoritas. Apa yang umat Islam lakukan di Indonesia, akan berdampak pada nasib kaum Muslim di negara-negara lain.

Karena itu, saya ingatkan janganlah sekali-kali suka “membusungkan dada” alias sombong merasa diri mayoritas sehingga bisa berbuat seenaknya. Kalau “membusungkan perut” sih boleh-boleh saja karena mungkin kekenyangan ya habis makan-makan enak, apalagi saat liburan Natal begini makin “busung” aja tuh perut he he
Jabal Dhahran, Arabia

Mari Kita Wujudkan Pluralisme Agama di Masyarakat

Mari Kita Wujudkan Pluralisme Agama di Masyarakat
oleh: Sumanto Al Qurtuby

Ini lanjutan “kuliah virtual” tentang pluralisme supaya lebih “ngeh” (jelas dan paham) karena saya perhatikan masih ada sebagian yang belum “ngeh” dengan penjelasanku tentang pluralisme kemarin. Saya sarankan bagi Anda yang belum membaca postinganku kali ini untuk membaca postingangku sebelumnya (“Antara Pluralitas dan Pluralisme”) supaya nyambung.

Seperti saya katakan sebelumnya, jika pluralitas atau keragaman adalah sesuatu yang bersifat alami (natural) sebagai anugerah, rahmat, atau pemberian Tuhan, maka pluralisme merupakan “konstruksi sosial” umat manusia untuk menyikapi fakta-fakta pluralitas tadi agar tetap tumbuh menjadi plural dan tidak berubah menjadi “bencana kemanusiaan”. Pluralitas harus dipandang sebagai sebuah “nikmat Tuhan” yang harus disyukuri, dirawat, dan dikelola dengan baik agar tidak berubah menjadi “bencana kemanusiaan” tadi.

Sayangnya, di masyarakat kita—dari dulu hingga sekarang—masih cukup banyak kelompok agama, etnis, suku, budaya, dlsb yang memandang pluralitas agama, etnis, suku, budaya, dlsb sebagai “malapetaka” dan “ancaman” terhadap eksistensi kelompok mereka. Karena overdosis kekhawatiran inilah, sejumlah kelompok melakukan berbagai macam cara untuk menolak pluralitas tadi dan pada saat yang sama memperkenalkan dan memaksakan “singularitas” alias penyeragaman agama, suku, etnis, budaya, dlsb yang dilakukan atas nama dogma, ideologi, negara, mazhab, supremasi etnis, dlsb.

Pluralisme, termasuk pluralisme agama, susah dan tidak akan terwujud di masyarakat tanpa adanya upaya serius dan kerja keras untuk mewujudkannya. Pluralisme sulit terwujud jika kita memaksakan klaim-klaim kebenaran dan superioritas atas kelompok dan umat lain. Pluralisme juga susah terlaksana tanpa adanya komitmen yang tulus dan dialog yang sehat untuk mengerti dan memahami “yang lain”.

Kita kadang gampang sekali menghakimi sesuatu atau properti milik agama, sekte, atau mazhab lain sebagai buruk, bengkok, sesat, dlsb tanpa berusaha untuk belajar dan mencari penjelasan dari kelompok yang mereka hakimi itu. Karena tidak ada semangat untuk belajar dari “yang lain” serta nihilnya komitmen untuk memahami dan mengerti “yang lain”, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman sehingga gampang mengolok-olok kelompok lain dan menuduh pihak lain keliru atau “salah jalan”. Fenomena ini terjadi di semua agama, bukan hanya Islam atau Kristen saja.

Jadi, pluralisme baru akan terwujud jika masing-masing kelompok bersedia untuk “mendengar” pihak lain dan menurunkan ego dan rasa superioritas untuk kemudian bersedia belajar dari dan bergumul dengan “yang lain” itu. Tanpa niatan tulus untuk belajar, bergumul, dan berdialog ini, maka pluralitas akan tetap menjadi pluralitas tidak akan menjadi pluralisme.

Misalnya, di beberapa kota di Indonesia, kita melihat ada sejumlah bangunan tempat ibadah dari berbagai kelompok agama dan sekte berdiri berjejer-jejer berdekatan. Atau di Maryland, Amerika Serikat, terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti gereja Katolik Vietnam, kuil Budha Kamboja, gereja Ortodoks Ukraina, Muslim Community Center, gereja Disciples of Christ, kuil Hindu Mandir Mongolia, dll.

Semua ini adalah contoh dari “pluralitas” bukan “pluralisme”. Tanpa adanya dialog intensif atau pergumulan terus-menerus antara satu komunitas dengan lainnya, maka pluralitas itu tidak akan menjelma menjadi pluralisme. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, kata kunci dari pluralisme adalah “pergumulan kreatif-intensif” terhadap fakta pluralitas itu guna menciptakan apa yang disebut “masyarakat bersama”. Dengan demikian, pluralisme itu sesuatu yang sangat positif yang mestinya harus diupayakan, bukan malah dicaci-maki dan difatwa haram (bersambung)
Jabal Dhahran, Arabia