Kamis, 05 November 2015

Sistem Pemerintahan dan tata negara kelompok Khawarij



Sistem Pemerintahan dan tata negara kelompok Khawarij


            Pada awal kemunculannya, aliran khawarij memang didasari pada urusan politis yang mengarah kepada urusan teologis. Para pengikut aliran khawarij beraal dari suku pedalaman badui yang memiliki karakteristik keras dan berpikiran dangkal. Cara bepolitik kaum khawarij lebih mengutamakan demokratis dan tanpa diskriminasi ras, suku, asalkan sesama muslim dari kelompok mereka. Dalam di dalam tata negara mereka mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada saat itu. Mereka lebih bersifat demokratis, sebab menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukan orang Quraisy dan bukan hanya orang Arab, tetapi siapa saja yang sanggup asal orang Islam, sekalipun ia adalah seorang hamba sahaya.[1] pandangan politik terutama pemilihan kepala negara atau khalifah, mereka memiliki syarat-syarat sebagai berikut;
·         Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas serta demokratis dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Masa jabatan khalifah tidak ditentukan berapa lama, asalkan khalifah tersebut masih adil, memimpin sesuai syariat, maka dapat terus memimpin. Jika dikemudian hari khalifah tersebut mrnyimpang dari aturan ,maka hukumannya sanhgat berat bahakan bisa dibunuh.
·         Kedua, jabatan khalifah bukan semata-mata diwariskan oleh satu suku,yaitu suku quraisy, bukan pula hanya untuk bangsa non-arab saja,melainkan semua bangsa memiliki hak yang sama asalkan ia cakap dan mempunyai syarat sebagai khalifah. Khawarij bahkan mengutamakan non-Quraisy untuk memegang jabatan khalifah. Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
·         Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka. Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan. Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
·         Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari non-Arab. Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawarij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian kelompok ini.




[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, hlm. 14.

0 komentar:

Posting Komentar